Rabu, 05 Maret 2008

Kandang

kandang
Cerpen Delvi Yandra

“Aku tak sudi kalau ayahmu masih berdiam di rumah ini, mengurus segala kehendak dan keluh pintanya. Apalagi dengan suara batuknya yang sangat menggaduh itu. Bagaimana mungkin aku dapat tidur dengan tenang kalau setiap malam ia selalu minta dipapah ke bilik kencing. Dan, aku paling tak suka bau tubuhnya yang memenuhi tiap sudut rumah. Keringat dan dahaknya. Aku sudah tak sanggup untuk mengurus ayahmu. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Segala tetek bengek selalu jadi masalah. Kapan kau dapat kerja tetap? Bagaimana kita dapat merasai tidur yang nyaman, makan enak. seperti sepasang suami istri yang benar-benar layaknya sepasang suami istri kebanyakan.”

Di tengah omelannya itu, kuhempaskan tubuh layuku di atas dipan kayu yang beralaskan tikar pandan. Lalu, kupotong pembicaraan ini.

“Ya. Kau selalu mengeluh soal ayah. Kau tahu, ia satu-satunya yang aku punya. Kau harus tahu, kita ini bukan orang kaya. Selalu yang itu-itu juga jadi masalah. Baik. Aku yang akan mengurusnya. Kau tak pernah berpikir, bagaimana aku dapat melaut kalau terubuk, puake, dan ikan-ikan lainnya tak mau lagi mampir di keramba. Segala bujuk rayu dan umpan tak lagi mempan. Kau bilang itu bukanlah suatu pekerjaan tetap. Aku paham betul, setiap akhir bulan tiba, kau dapat upah. Kerja yang kau lakukan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati sebagai buruh cuci. Dulu, aku ini nelayan ulung. Berkeliling pulau Tanjung Pinang selepas subuh. Bukan aku tak mampu menjaring banyak ikan, tapi kapal-kapal lalu lalang membuang minyak sembarang tempat. Bukan karena aku merugi. Aku hanya belum beruntung. Sudahlah. Berdebat sepanjang malam dengan kau tak ada habisnya.”

Lalu kurampas selimut dari dekapannya. Melanjutkan tidur.

***

Selalu begitu. Bahkan hampir setiap malam perdebatan itu menjadi santap malam yang tak membuat kenyang. Tak ada habisnya. Aku selalu dapat membaca raut mukanya, kalau ia benar-benar tak sudi bila ayahku masih tinggal satu atap. Entah apa yang tengah bernaung di kepalanya. Melanjutkan kebiasaan bukanlah sesuatu hal yang mudah bahkan banyak orang akan berbuat nekat dan bunuh diri karenanya. Barangkali itulah sesuatu yang buruk tengah tertanam di benaknya.

Sehari ini kuhabiskan waktu di gerai kopi Misnuar. Menyeruput kopi hangat yang baru tersaji setelah bertengkar hebat adalah kebiasaan yang dapat menghilangkan stres—begitu kata Roslan; teman duduk yang sering bertandang di gerai tersebut. Ia selalu memesan kopi tanpa gula bahkan ia minta ditambahkan barang dua sampai tiga sendok kopi di cangkirnya. Katanya; pahit kopi lebih nikmat dari pada pahit sakit hatinya setelah ditinggal pergi Rosmah. Ah, Roslan masih tidak ubahnya seperti dua tahun lalu. Ia bercakap-cakap seolah ia seorang filsuf ulung atau ahli nujum terkemuka di kampung ini. Tingkahnya itulah yang membikin aku betah berlama-lama di gerai ini daripada sekedar menyeruput secangkir kopi hangat.

Sejenak pikiranku terbang melambung seperti sebuah kenangan masa lampau. Teringat ibu yang rajin mengurus ayah. Bukan itu saja, ibu bahkan tidak pernah mengeluh bila seharian penuh menghabiskan waktu di rumah bersama ayah dan aku. Kadang-kadang kami meluangkan waktu untuk tamasya dan bersenda gurau ke tempat-tempat yang paling disukai ayah dan ibu. Salah satunya adalah ke Pulau Penyengat. Cerita tentang itu selalu ibu bicarakan berulang-ulang di ruang makan. Dan ayah, ia melarang ibu bercerita apapun ketika sedang makan, katanya nanti tersedak.

Semuanya kini hanya kenangan. Hanya jadi cerita yang kusimpan rapat dalam kepala sebab tidak ada gunanya lagi mengekalkan certa-cerita serupa itu.

Kutuntaskan duduk di gerai Misnuar dengan seruputan kopi yang terakhir. Dan Roslan, membiarkan aku pergi dan memastikan kalau aku telah menghilang di tikungan gang sebab ia paham betul dengan apa yang sedang kupikirkan.

Sebenarnya aku tidak ingin segera tiba di rumah sebab menahan sakit adalah hal yang paling kubenci. Aku juga tidak suka dengan sikap istriku yang seolah-olah menggurui itu. Persoalan ayah selalu jadi topik yang menggemaskan. Sepertinya, barang sesaat aku harus berpikir keras. Mencari jalan keluar yang terbaik untuk memecahkan masalah ini.

Seperti biasa, setelah pertengkaran hebat usai, akhirnya aku dapat tidur dengan tenang.

Pagi ini. Kutuntaskan pekerjaan dengan menyabit rumput di halaman belakang yang sudah setinggi lutut. Kalau jongkok, maka aku akan langsung tenggelam dalam lautan rumput. Namun tidak semua rumput dapat dibereskan sebab banyak tumpukan kayu sisa pembangunan rumah dan sumur kayu yang menghalangi. Melihat hal yang demikian itu, aku menemukan ide cemerlang. Cerlang.

Kudirikan sebuah ruang kecil berukuran tiga kali empat meter yang menyatu dengan dinding belakang rumah. Untuk ayah. Lalu kubayangkan seraut binar di wajah ayah pertanda kalau ia akan senang. Akan kutempatkan ia dengan nyaman. Kupindahkan tikar pandanku beserta bantalnya ke ruangan tersebut. Lalu ayah tersenyum tipis sembari menahan sedu. Begitulah yang dapat kulakukan untuk ayah yang membesarkanku.

Kupapah ia ke bilik kencing persis seperti yang pernah dilakukan istriku dan kukerjakan segala tetek bengek lainnya tanpa kuperlihatkan rasa lelahku padanya. Tanpa perhitungan dan pertimbangan yang membuat banyak orang akan berubah pikiran. Karena sempitnya ruangan itu, aku tidak dapat menemani ayah tidur di dalamnya. Aku hanya bisa memastikan kalau ayah sudah terlelap sebelum aku meninggalkannya dan kembali ke rumah.

Setelah itu, istriku tak pernah mengeluh lagi.

Waktu berlalu begitu cepat. Begitu kilat. Sehingga aku patut merahasiakan keberadaan ayah di dalam bilik kecil itu dari orang-orang kampung. Aku hanya tidak ingin mereka mencampuri urusan keluargaku. Adalah aib bila mereka mengetahui hal ini. Tapi aku patut bersyukur. Hidup kami sudah tentram. Jauh dari sila sengketa dan pembicaraan orang-orang kampung dan tetangga yang mengumpat-umpat atau sekedar menyebarkan berita tak sedap di kampung.

Hal yang paling mencucuk-cucuk dan membelah kepalaku sekarang ialah keberadaan ayah. Aku merasa tidak layak bila ayah ditempatkan di bilik yang sedemikian rupa itu. Bayangkan, betapa dahulu ia mendidik dan membesarkan aku sepenuh ruh tapi hanya dengan begini aku patut membalasnya. Hanya dengan cara ini kutempatkan ayah. Aku merasa memperlakukan ayah bukan seperti selayaknya ayah. Aku seolah-olah sedang memelihara seekor binatang yang kutempatkan di kandang yang bagus lalu kuberi makan biar sehat sampai kelak ia mati. Ya. Begitu singkatnya jalan pikiranku sekarang.

Sampai suatu ketika akhirnya orang-orang kampung mengetahui keberadaan ayah. Bertubi-tubi pula makian datang silih berganti. Mereka mengenal aku seorang yang taat beribadah dan ramah di kampung. Tapi setelah mereka mengetahui hal ini, mereka bertukar haluan dan mengenal aku sebagai seorang yang tak tahu balas budi dan tak manusiawi. Pelan-pelan. Orang-orang kampung mulai menjauhi aku. Bila aku lalu dihadapan mereka, seketika itu pula mereka mengalihkan pandang dan menjauh. Begitu pula istriku. Menjauh dariku. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar bahkan ia sering pulang larut dengan meninggalkan aroma alkohol yang memenuhi setiap ruang. Apa pula nanti kata orang-orang kampung. Setiap kali kuberi nasehat, ia selalu berdalih ke hal-hal yang paling kubenci. Kadang-kadang ditengah pembicaraan ia mengumpat-umpat ayah. Ingin kutampar wajah menornya itu.

“ Tampar saja aku, maka kau tak dapat makan. Juga ayahmu.” Begitu katanya, setiap kali tangan kananku mulai mengambil ancang-ancang untuk menamparnya. Tapi kuurungkan sebab aku tahu sudah bertahun-tahun ia membiayai hidupku dan ayahku.

Kini aku telah merasa jatuh. Apa-apa yang pernah kuperjuangkan, seperti terhenti ditengah jalan. Aku tak tahu mesti berbuat apa. Harus melakukan apa. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bermenung-menung di belakang rumah daripada menikmati secangkir kopi bersama Roslan di gerai kopi Misnuar. Aku hanya melihat rumput-rumput kering dan tatapan jauh ke kebun sawit Tok Asril sambil menikmati burung pipit yang bertengger di pohon delima yang lebat. Menghitung awan yang berarak ke barat. Sampai mendung dan hujan membikin aku harus beranjak dari kediamanku.

Aku menuju bilik ayah. kudapati ayah terlelap dengan napas yang terengah-engah seperti baru saja habis berlari. Aku paham betul, ayah tidak layak diperlakukan seperti ini tapi apa mau dikata. Sempat terbersit di dalam pikiranku bahwa ayah akan kutempatkan di panti jompo. Panti lansia yang mau menampung orang-orang seperti ayah. Tapi aku tak sudi hal yang demikian itu terjadi. Tak akan kubiarkan ayah diurus oleh orang lain. Ah, kutatap ayah penuh makna.

Air jatuhan dari atap tembus ke dalam bilik lalu mengenai wajah ayah yang tengah asyik masyuk terlelap. Tapi aneh, ayah tak merasa terusik barang sekejap pun. Malah kulihat ia tidur begitu pulas. Seperti tidur panjang yang tak berkesudahan. Tidak ada gerak yang berarti. Sebab hal itu pula, kuhampiri ayah, lalu kubenarkan letak kakinya. Euh, kakinya begitu dingin dan putih memucat. Ada apa gerangan. Kupastikan kalau napasnya masih ada. Tidak. Tak ada hembusan napas keluar dari hidung maupun mulutnya.

Lalu aku menarik napas panjang sambil mengusap wajah ayah dengan tanganku. Ia telah mati.

Maaf ayah. Aku benar-benar payah. Aku tak mampu menjagamu dengan baik. Dengan sepenuh hati. Walau engkau tak merasa begitu tapi aku telah benar-benar jatuh. Dan kandang ini, aku telah meninggalkan luka untukmu.

Secepat kilat aku berlari keluar. Di tengah hujan deras, kuhempaskan tubuhku di hamparan rerumput. Lalu dendam kesumat berkelebat dalam dada. Kubayangkan istriku dan orang-orang kampung.

Kemudian, tidak hanya itu semua. Bahkan ayah telah mati di hatiku. Menjadi abu. Debu.

Rumah Teduh, September 2007

Dedikasi untuk Bpk.Yanorpin

“you are the best, Dad!”

Tidak ada komentar: