Selasa, 08 April 2008

Andalusia

Andalusia
Cerpen Delvi Yandra

Masih tercium aroma jeruk-jeruk itu di tiga hektar tanah ini, walaupun sedang tidak musim panen. Dan kelihatannya, perkebunan ini sudah tidak terurus lagi. Jeruk yang dahulu sering ia petik bersama Yasmine untuk kemudian di bawa ke Sidi Mahrez. Segalanya berubah sejak kematian ibu dan kepergian Yasmine.
Sekali petik, ia bisa membawa sedikitnya satu ton jeruk manis dan segar. Ada kenikmatan yang ia dapat ketika sedang memetik buahnya. Buah yang berjejer dan kuning bergelantungan. Apalagi kalau melihat Yasmine sedang tersenyum di sampingnya dengan keranjang yang penuh dengan jeruk. Penat dan letih pun jadi tidak terasa. Ia bayangkan melihat Yasmin seperti melihat ibu. Penuh semangat dan juang. Tapi ibu, kini ia hanya dapat menjenguknya di pemakaman umum setiap akhir pekan. Berdampingan dengan makam ayah. Dan Yasmine, entah kapan ia akan pulang dari La Marsa. Setelah setahun lalu, Bahrem membawanya ke sana untuk bekerja sebagai pramusaji. Dan, sudah lebih sebulan ia tidak mendapat surat balasan dari Yasmine walaupun dalam seminggu setidak-tidaknya ia telah mengirimi Yasmin tiga pucuk surat. Sebenarnya ia bisa saja datang ke La Marsa, tapi ia kawatir Bahrem tidak akan menyambut baik kedatangannya. Bahrem memang sejak dahulu tidak menyukainya. Apalagi bargaul dengan Yasmine. Oleh karena itu, Bahrem berkeras hati tetap membawa adik perempuannya itu ke La Marsa.
Ia sandarkan tubuh letihnya pada sebuah balok kayu besar yang tegak di beranda. Diusapnya tangan yang kusam dan penuh dengan tanah sembari menyeruput secangkir teh hangat bertabur bunga yasmine dan daun mint. Semburat merah matahari petang menyelinap lewat celah-celah daun dan batang jeruk. Sesekali, semilir angin membawanya terlelap. Ia mencoba melawan. Tapi akhirnya, ia mengalah dan matanya pun terkatup.
***
“Ibu, lihatlah! Jeruk yang ini sudah ranum. Ini jeruk yang sering dipelihara Yasmine. Sekarang sudah benar-benar bisa dipetik.” Jeritnya dari kejauhan selagi ibu membersihkan rumput-rumput kecil di sekeliling batang jeruk.
Ia masih asyik masyuk memperhatikan setiap batang jeruk yang barangkali sudah bisa dipetik buahnya. Kalau ia penasaran, batang itu dipanjatnya untuk dapat melihat lebih dekat barangkali ada satu atau dua buah jeruk yang sudah ranum. Sebelum ulat-ulat lebih dahulu menemukannya sebab ulat-ulat di sini tak bisa diajak berdiskusi, apalagi di musim panen. Ia kegirangan sebab ia mendapat hampir sekeranjang penuh buah jeruk. Dalam hati, ia mengejek ulat-ulat itu. Lalu, ia hampiri ibu dengan penuh bangga. Sebentar kemudian, Yasmine datang membawakan dua gelas teh hangat bertabur bunga yasmine dan daun mint. Aku dan ibu jadi senang.
Ia menunjukan batang jeruk peliharaannya kepada Yasmine. Lalu, mereka saling berlomba memanjat atau menjangkau batang itu sampai ke puncak. Dari atas, mereka dapat menyaksikan jeruk-jeruk kuning masak yang berjejer dan bergelantungan di tiap batangnya. Di ujung sebelah barat perkebunan, berbaris bangunan-bangunan kuno khas Andalusia yang berwarna putih dan biru langit. Sungguh pemandangan menakjubkan yang tak terlupakan. Sejak saat itu, ia ingin selalu dekat dengan Yasmine.
Semarak pemandangan yang mereka saksikan dibuyarkan oleh sayup-sayup suara. Suara yang sangat akrab di telinganya. Ya. Itu suara ibu memanggilnya.
“Graham! Graham! Yasmine! Graham!”
***
Tubuhnya terasa seperti diguncang. Seseorang tengah membangunkannya. Ia memanggilnya.
“Graham! Bangun. Sudah senja.”
Di depan matanya, samar-samar terlihat Abraham tengah membangunkannya.
“Hei, bangun. Apa kau masih akan terus tidur di sini sepanjang hidupmu? Kau mimpi itu lagi?”
Ia tak mempedulikannya. Abraham memang selalu begitu. Kemudian ia berdiri dan menuju truk yang penuh dengan kayu gelondongan. Abraham mengikutinya dari belakang dan duduk di atas kayu gelondongan itu. Secepat kilat truk tersebut melaju kencang. Mereka harus segera menyelesaikan pekerjaan sampingan itu. Lalu truk tersebut menghilang di tikungan. Hanya bunyi serangga-serangga kecil yang menyambut malam. Dan, aroma jeruk yang masih tercium meski belum musim panen.
Abraham, sahabat kental Graham, sudah mengenalnya sejak lama sebelum Yasmine terpaksa meninggalkannya dan melupakan kebun jeruk itu. Sedangkan ia adalah seorang Andalusia. Ia percaya pada pohon jeruk. Bahwa jeruk-jeruk itu akan terus tumbuh di Sidi Bou Said ini. Ia pun percaya kalau Yasmine suatu saat akan pulang menemuinya. Ia adalah si pemimpi seperti yang dikatakan Abraham—yang terus bermimpi kelak cita-citanya akan terwujud. Setiap hari ia pergi ke Sidi Mahrez dan kembali pulang menuju kebun jeruknya. Ia benar-benar seorang pemimpi walaupun kenyataannya Yasmine belum pulang dan tidak akan pernah pulang.
Begitulah seterusnya. Selama berjam-jam ia menantikan pohon jeruk itu terus tumbuh. Seperti penantiannya. Seperti janjinya kepada Yasmine bahwa ia akan tetap mengurus kebun jeruk itu sampai musim panen berikutnya tiba. Entah apa yang membuatnya telah menjadi seorang yang benar-benar sabar. Ia kini lebih tekun mengurus kebun jeruk itu. Ia pun tekun menjalankan ibadah. Doa-doa ia panjatkan, shalat ia tegakkan siang dan malam. Segala hal ia pelajari agar buah-buah jeruk tumbuh dengan subur. Dari persoalan cara bercocok tanam yang baik sampai pada hal-hal apa yang harus dihindari agar jeruk-jeruk tidak terkena hama tanaman. Ia benar-benar telah menjadi seorang yang ahli dibidang perkebunan. Tidak seperti dahulu walaupun ia hanya sedikit pernah belajar tentang jeruk kepada ibunya. Yasmine pasti akan senang dengan apa yang telah ia perbuat.
Ia yakin beberapa tahun lagi kebun jeruknya itu akan sampai pada puncak kejayaan. Dan hal itu benar-benar terwujud. Lihatlah! Kebun jeruk itu telah menjadi pekerjaan yang sukses. Musim panen pun menjadi sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu. Kebun jeruk Graham telah terdengar kemasyurannya sampai ke pelosok negeri. Ia juga yakin bahwa Yasmine pasti telah mendengar hal itu dan akan segera pulang menemuinya.
Kali ini Abraham telah berubah pandang terhadapnya. Ia bukan seorang pemimpi lagi tapi ia telah benar-benar mewujudkan mimpinya itu. Barangkali kelak Abraham akan menulis tentang perjuangan hidup temannya itu di dalam buku hariannya.
Di dekat kebunnya, Graham membangun sebuah rumah yang cukup besar khas Andalusia—yang catnya berwarna putih dan biru. Juga segala perabotan yang melengkapi interior rumahnya. Telah pula ia sediakan sebuah kamar berukuran empat kali enam untuk Yasmine sebab ia yakin bahwa Yasmine kelak akan tinggal bersamanya di rumah itu dan mengurus kebun jeruk bersama-sama. Dan sebuah ruang shalat.
Graham juga telah mempekerjakan beberapa orang kepercayaannya untuk mengurus kebun jeruknya, termasuk sahabat kentalnya Abraham. Tapi tetap saja segala urusan berkebun berada di bawah pengawasannya. Ia percaya bahwa kelak tidak ada diantara orang-orang kepercayaannya itu yang akan berkhianat untuk menghancurkan kebun jeruknya dengan cara halus maupun dengan cara kasar. Kepercayaan merupakan prinsip yang benar-benar ia pegang terhadap orang-orang yang bekerja untuknya. Kepercayaannya itu jugalah yang telah membikinnya untuk terus mempertahankan usaha berkebun jeruk seperti janjinya kepada Yasmine. Dan, ia yakin ibu dan ayah akan bangga dengan apa yang telah ia perbuat. Inilah kebenarannya.
Bertahun-tahun sudah ia mengembangkan usaha berkebun jeruk Beberapa hasil panen terbaiknya telah ia ekspor ke luar negeri. Tapi apalah penantiannya itu. Yasmine yang ia rindukan belum juga pulang atau setidak-tidaknya membalas suratnya. Tidak sekalipun. Rindunya pupus. Batas kesabarannya barangkali telah habis. Suatu ketika ia pernah mendengar kabar angin dari seorang musafir yang kebetulan lewat dan singgah sebentar di perkebunannya. Ia bercerita tentang seorang perempuan bernama Yasmine dari Sidi Mahrez. Perempuan itu telah menikah dengan seorang yang kaya pemilik sebuah restoran terkenal di sana. Katanya, perempuan itu mengaku pernah tinggal di Sidi Bou Said. Oleh karena itu pula, musafir tersebut menyempatkan diri untuk bercerita tentang perempuan itu. Sungguh suatu kebetulan yang cukup membikin pupus harapan Graham untuk menemui perempuan yang begitu ia rindukan. Setelah ia mendengar semuanya, ia memberikan sekeranjang besar jeruk-jeruk segar yang ia petik sendiri kepada musafir yang bercerita untuknya.
Tidak sampai di situ saja, Graham tetap berusaha meyakinkan diri bahwa Yasmine tetap akan pulang menemuinya. Yasmine kelak akan menginjakkan tanah Sidi Bou Said ini sekedar menghirup wangi aroma jeruk miliknya. Ia masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang dikatakan musafir itu. Laki-laki itu hanya seorang musafir. Bisa saja ia bercerita tentang apa yang terlintas di pikirannya untuk sekedar agar ia diberi belas kasih dari seseorang yang ia temui, termasuk Graham. Musafir itu seorang pendongeng yang ulung. Graham belum percaya kalau ia tidak menyaksikan langsung kenyataan yang sebenarnya. Selanjutnya, ia tetap berdoa siang dan malam, shalat dengan tekun, bahkan mengaji sampai tamat.
Sekarang ia telah membuka cabang bagi usahanya. Ia telah membuka lapangan kerja baru bagi para penganggur. Terutama bagi orang-orang yang berada di sekitar kawasan Sidi Bou Said. Tidak sampai di situ saja, usahanya bahkan telah masuk ke Sidi Mahrez dan La Marsa. Untuk itu Graham menyempatkan waktunya untuk melihat-lihat usahanya yang sedang berkembang di Sidi Mahrez dan La Marsa.
Di La Marsa, usahanya benar-benar berkembang pesat. Pemasukan paling banyak ia dapat adalah di La Marsa.
Di sana, ia menemukan seseorang yang selama ini hampir ia lupakan. Perempuan yang terus membikinnya semangat dan terus ingin hidup sebagai seorang Andalusia. Perempuan itu datang ke tempat usahanya bersama seorang laki-laki berjenggot lebat dan seorang lagi adalah bocah yang usianya kira-kira lima tahun. Dan bocah itu, kelihatannya lebih mirip dengan perempuan yang datang bersamanya. Hidung dan matanya persis sama. Bahkan belahan bibirnya juga sama.
Seketika itu pula Graham terkesima dan terpana. Wajahnya pucat dan tubuhnya kaku. Lalu perempuan itu menghampirinya dan menanyakan janjinya.
“bagaimana dengan kebun jeruk kita?”
Ia hanya diam. Perempuan itu paham dengan maksud diam yang disampaikan Graham kepadanya.
Perempuan itu, Yasmine, takjub.
Graham telah memenuhi janjinya. Ia benar-benar seorang Andalusia. Dan ia juga percaya bahwa musafir yang pernah menemuinya dahulu bukanlah seorang pembual. Meskipun ia telah melepas kerinduannya dengan sangat menyakitkan tapi ia tetap percaya bahwa perempuan itu akan tetap terus menanyakan tentang jeruk-jeruknya. Kelak, di musim panen raya, Yasmine akan sering berkunjung untuk sekedar melihat-lihat perkebunannya. Sekedar mencicipi buah rindunya selama bertahun-tahun. Setidak-tidaknya, ia telah membuat sesuatu yang berarti untuk dirinya sendiri.

Kandangpadati, akhir 2007

(pernah dimuat di koran SINDO 6 April 2008)

Rabu, 05 Maret 2008

Kandang

kandang
Cerpen Delvi Yandra

“Aku tak sudi kalau ayahmu masih berdiam di rumah ini, mengurus segala kehendak dan keluh pintanya. Apalagi dengan suara batuknya yang sangat menggaduh itu. Bagaimana mungkin aku dapat tidur dengan tenang kalau setiap malam ia selalu minta dipapah ke bilik kencing. Dan, aku paling tak suka bau tubuhnya yang memenuhi tiap sudut rumah. Keringat dan dahaknya. Aku sudah tak sanggup untuk mengurus ayahmu. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Segala tetek bengek selalu jadi masalah. Kapan kau dapat kerja tetap? Bagaimana kita dapat merasai tidur yang nyaman, makan enak. seperti sepasang suami istri yang benar-benar layaknya sepasang suami istri kebanyakan.”

Di tengah omelannya itu, kuhempaskan tubuh layuku di atas dipan kayu yang beralaskan tikar pandan. Lalu, kupotong pembicaraan ini.

“Ya. Kau selalu mengeluh soal ayah. Kau tahu, ia satu-satunya yang aku punya. Kau harus tahu, kita ini bukan orang kaya. Selalu yang itu-itu juga jadi masalah. Baik. Aku yang akan mengurusnya. Kau tak pernah berpikir, bagaimana aku dapat melaut kalau terubuk, puake, dan ikan-ikan lainnya tak mau lagi mampir di keramba. Segala bujuk rayu dan umpan tak lagi mempan. Kau bilang itu bukanlah suatu pekerjaan tetap. Aku paham betul, setiap akhir bulan tiba, kau dapat upah. Kerja yang kau lakukan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati sebagai buruh cuci. Dulu, aku ini nelayan ulung. Berkeliling pulau Tanjung Pinang selepas subuh. Bukan aku tak mampu menjaring banyak ikan, tapi kapal-kapal lalu lalang membuang minyak sembarang tempat. Bukan karena aku merugi. Aku hanya belum beruntung. Sudahlah. Berdebat sepanjang malam dengan kau tak ada habisnya.”

Lalu kurampas selimut dari dekapannya. Melanjutkan tidur.

***

Selalu begitu. Bahkan hampir setiap malam perdebatan itu menjadi santap malam yang tak membuat kenyang. Tak ada habisnya. Aku selalu dapat membaca raut mukanya, kalau ia benar-benar tak sudi bila ayahku masih tinggal satu atap. Entah apa yang tengah bernaung di kepalanya. Melanjutkan kebiasaan bukanlah sesuatu hal yang mudah bahkan banyak orang akan berbuat nekat dan bunuh diri karenanya. Barangkali itulah sesuatu yang buruk tengah tertanam di benaknya.

Sehari ini kuhabiskan waktu di gerai kopi Misnuar. Menyeruput kopi hangat yang baru tersaji setelah bertengkar hebat adalah kebiasaan yang dapat menghilangkan stres—begitu kata Roslan; teman duduk yang sering bertandang di gerai tersebut. Ia selalu memesan kopi tanpa gula bahkan ia minta ditambahkan barang dua sampai tiga sendok kopi di cangkirnya. Katanya; pahit kopi lebih nikmat dari pada pahit sakit hatinya setelah ditinggal pergi Rosmah. Ah, Roslan masih tidak ubahnya seperti dua tahun lalu. Ia bercakap-cakap seolah ia seorang filsuf ulung atau ahli nujum terkemuka di kampung ini. Tingkahnya itulah yang membikin aku betah berlama-lama di gerai ini daripada sekedar menyeruput secangkir kopi hangat.

Sejenak pikiranku terbang melambung seperti sebuah kenangan masa lampau. Teringat ibu yang rajin mengurus ayah. Bukan itu saja, ibu bahkan tidak pernah mengeluh bila seharian penuh menghabiskan waktu di rumah bersama ayah dan aku. Kadang-kadang kami meluangkan waktu untuk tamasya dan bersenda gurau ke tempat-tempat yang paling disukai ayah dan ibu. Salah satunya adalah ke Pulau Penyengat. Cerita tentang itu selalu ibu bicarakan berulang-ulang di ruang makan. Dan ayah, ia melarang ibu bercerita apapun ketika sedang makan, katanya nanti tersedak.

Semuanya kini hanya kenangan. Hanya jadi cerita yang kusimpan rapat dalam kepala sebab tidak ada gunanya lagi mengekalkan certa-cerita serupa itu.

Kutuntaskan duduk di gerai Misnuar dengan seruputan kopi yang terakhir. Dan Roslan, membiarkan aku pergi dan memastikan kalau aku telah menghilang di tikungan gang sebab ia paham betul dengan apa yang sedang kupikirkan.

Sebenarnya aku tidak ingin segera tiba di rumah sebab menahan sakit adalah hal yang paling kubenci. Aku juga tidak suka dengan sikap istriku yang seolah-olah menggurui itu. Persoalan ayah selalu jadi topik yang menggemaskan. Sepertinya, barang sesaat aku harus berpikir keras. Mencari jalan keluar yang terbaik untuk memecahkan masalah ini.

Seperti biasa, setelah pertengkaran hebat usai, akhirnya aku dapat tidur dengan tenang.

Pagi ini. Kutuntaskan pekerjaan dengan menyabit rumput di halaman belakang yang sudah setinggi lutut. Kalau jongkok, maka aku akan langsung tenggelam dalam lautan rumput. Namun tidak semua rumput dapat dibereskan sebab banyak tumpukan kayu sisa pembangunan rumah dan sumur kayu yang menghalangi. Melihat hal yang demikian itu, aku menemukan ide cemerlang. Cerlang.

Kudirikan sebuah ruang kecil berukuran tiga kali empat meter yang menyatu dengan dinding belakang rumah. Untuk ayah. Lalu kubayangkan seraut binar di wajah ayah pertanda kalau ia akan senang. Akan kutempatkan ia dengan nyaman. Kupindahkan tikar pandanku beserta bantalnya ke ruangan tersebut. Lalu ayah tersenyum tipis sembari menahan sedu. Begitulah yang dapat kulakukan untuk ayah yang membesarkanku.

Kupapah ia ke bilik kencing persis seperti yang pernah dilakukan istriku dan kukerjakan segala tetek bengek lainnya tanpa kuperlihatkan rasa lelahku padanya. Tanpa perhitungan dan pertimbangan yang membuat banyak orang akan berubah pikiran. Karena sempitnya ruangan itu, aku tidak dapat menemani ayah tidur di dalamnya. Aku hanya bisa memastikan kalau ayah sudah terlelap sebelum aku meninggalkannya dan kembali ke rumah.

Setelah itu, istriku tak pernah mengeluh lagi.

Waktu berlalu begitu cepat. Begitu kilat. Sehingga aku patut merahasiakan keberadaan ayah di dalam bilik kecil itu dari orang-orang kampung. Aku hanya tidak ingin mereka mencampuri urusan keluargaku. Adalah aib bila mereka mengetahui hal ini. Tapi aku patut bersyukur. Hidup kami sudah tentram. Jauh dari sila sengketa dan pembicaraan orang-orang kampung dan tetangga yang mengumpat-umpat atau sekedar menyebarkan berita tak sedap di kampung.

Hal yang paling mencucuk-cucuk dan membelah kepalaku sekarang ialah keberadaan ayah. Aku merasa tidak layak bila ayah ditempatkan di bilik yang sedemikian rupa itu. Bayangkan, betapa dahulu ia mendidik dan membesarkan aku sepenuh ruh tapi hanya dengan begini aku patut membalasnya. Hanya dengan cara ini kutempatkan ayah. Aku merasa memperlakukan ayah bukan seperti selayaknya ayah. Aku seolah-olah sedang memelihara seekor binatang yang kutempatkan di kandang yang bagus lalu kuberi makan biar sehat sampai kelak ia mati. Ya. Begitu singkatnya jalan pikiranku sekarang.

Sampai suatu ketika akhirnya orang-orang kampung mengetahui keberadaan ayah. Bertubi-tubi pula makian datang silih berganti. Mereka mengenal aku seorang yang taat beribadah dan ramah di kampung. Tapi setelah mereka mengetahui hal ini, mereka bertukar haluan dan mengenal aku sebagai seorang yang tak tahu balas budi dan tak manusiawi. Pelan-pelan. Orang-orang kampung mulai menjauhi aku. Bila aku lalu dihadapan mereka, seketika itu pula mereka mengalihkan pandang dan menjauh. Begitu pula istriku. Menjauh dariku. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar bahkan ia sering pulang larut dengan meninggalkan aroma alkohol yang memenuhi setiap ruang. Apa pula nanti kata orang-orang kampung. Setiap kali kuberi nasehat, ia selalu berdalih ke hal-hal yang paling kubenci. Kadang-kadang ditengah pembicaraan ia mengumpat-umpat ayah. Ingin kutampar wajah menornya itu.

“ Tampar saja aku, maka kau tak dapat makan. Juga ayahmu.” Begitu katanya, setiap kali tangan kananku mulai mengambil ancang-ancang untuk menamparnya. Tapi kuurungkan sebab aku tahu sudah bertahun-tahun ia membiayai hidupku dan ayahku.

Kini aku telah merasa jatuh. Apa-apa yang pernah kuperjuangkan, seperti terhenti ditengah jalan. Aku tak tahu mesti berbuat apa. Harus melakukan apa. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bermenung-menung di belakang rumah daripada menikmati secangkir kopi bersama Roslan di gerai kopi Misnuar. Aku hanya melihat rumput-rumput kering dan tatapan jauh ke kebun sawit Tok Asril sambil menikmati burung pipit yang bertengger di pohon delima yang lebat. Menghitung awan yang berarak ke barat. Sampai mendung dan hujan membikin aku harus beranjak dari kediamanku.

Aku menuju bilik ayah. kudapati ayah terlelap dengan napas yang terengah-engah seperti baru saja habis berlari. Aku paham betul, ayah tidak layak diperlakukan seperti ini tapi apa mau dikata. Sempat terbersit di dalam pikiranku bahwa ayah akan kutempatkan di panti jompo. Panti lansia yang mau menampung orang-orang seperti ayah. Tapi aku tak sudi hal yang demikian itu terjadi. Tak akan kubiarkan ayah diurus oleh orang lain. Ah, kutatap ayah penuh makna.

Air jatuhan dari atap tembus ke dalam bilik lalu mengenai wajah ayah yang tengah asyik masyuk terlelap. Tapi aneh, ayah tak merasa terusik barang sekejap pun. Malah kulihat ia tidur begitu pulas. Seperti tidur panjang yang tak berkesudahan. Tidak ada gerak yang berarti. Sebab hal itu pula, kuhampiri ayah, lalu kubenarkan letak kakinya. Euh, kakinya begitu dingin dan putih memucat. Ada apa gerangan. Kupastikan kalau napasnya masih ada. Tidak. Tak ada hembusan napas keluar dari hidung maupun mulutnya.

Lalu aku menarik napas panjang sambil mengusap wajah ayah dengan tanganku. Ia telah mati.

Maaf ayah. Aku benar-benar payah. Aku tak mampu menjagamu dengan baik. Dengan sepenuh hati. Walau engkau tak merasa begitu tapi aku telah benar-benar jatuh. Dan kandang ini, aku telah meninggalkan luka untukmu.

Secepat kilat aku berlari keluar. Di tengah hujan deras, kuhempaskan tubuhku di hamparan rerumput. Lalu dendam kesumat berkelebat dalam dada. Kubayangkan istriku dan orang-orang kampung.

Kemudian, tidak hanya itu semua. Bahkan ayah telah mati di hatiku. Menjadi abu. Debu.

Rumah Teduh, September 2007

Dedikasi untuk Bpk.Yanorpin

“you are the best, Dad!”

Sabtu, 16 Februari 2008

Masjid Merah

Masjid Merah
Cerpen Delvi Yandra

Tidak ada yang tahu pasti, mengapa anak-anakku bisa berada di dalam Masjid Merah sedangkan yang lain sudah banyak yang pulang sebelum peristiwa na’as itu terjadi. Tapi yang pasti mereka sedang dalam situasi gawat. Kegelisahan menyergap dalam kepalaku dan upaya apapun harus kutempuh. Aku harus menyelamatkannya. Bagaimana pun caranya, aku akan melakukan sesuatu.

Apa yang dapat menghalangiku untuk menjemput Akmal dan Uswah yang baru akan pulang dari mengaji di Masjid Merah. Sekalipun tidak, apalagi dari serangan tentara Pakistan yang sedang bersitegang dengan pendukung Ulama Abdul Rashid Ghazi.

Peluru-peluru panas menembus ke kedalaman tanah dan dinding masjid. Teriakan-teriakan histeris warga sekitar melengking ketika sebuah bom rakitan milik pendukung Ulama meledak pada salah satu mobil pick-up yang berada di parkiran halaman Masjid Merah. Seorang pria paruh baya yang mengenakan jas tergeletak tak berdaya di salah satu sudut jalan. Peristiwa itu menandakan adanya ekstremisme dan terorisme yang belum terkikis dan mereka kukuh memerangi setiap penyimpangan moral dari sudut wilayah Pakistan. Apakah juga termasuk anak-anak yang sedang berada di dalam masjid? Aku tidak habis pikir. Entah apa yang bersarang di dalam kepala mereka. Barangkali terlalu banyak benturan yang menghantam mereka. Kediktatoran militer, radikalisme, fundamentalisme, disusul dengan ekstremisme dan terorisme. Barangkali begitu cara mereka menegakan hukum syariah. Aku ini hanya seorang sipil! Lantas apa yang membuat mereka kelak dengan rela melepas nyawa anak-anak yang sedang terjebak di dalam sebuah Masjid dimana di sekelilingnya sekelompok orang sedang bertikai. Pemikiran yang di luar batas pemikiran seorang ayah sepertiku. Aku hanya tidak ingin tahu banyak tentang apa yang sedang mereka perjuangkan. Aku hanya ingin anak-anakku lepas bebas dan keluar dengan selamat dari dalam sana.

Mendadak aku dihadapkan pada kematian yang sudah pasti ada di depanku. Ketika aku mulai berani berlari di antara berondongan peluru dan bom dan masuk ke dalam masjid, di saat itu pulalah aku mulai dapat merasakan kegentingan hidup dan pintu kematian yang jaraknya tidak lebih dari satu senti meter.

Samar-samar aku dapat mendengar suara anak-anakku dari dalam Masjid Merah yang sedang membutuhkanku, sepertinya mereka sedang disandera.

“Kami tidak menyandera anak-anak ini, mereka sendiri yang menginginkannya. Mereka dengan senang hati menawarkan diri untuk tetap berada di dalam. Bahkan mereka juga mengatakan kalau mereka akan ikut berjuang bersama kami. Kami tidak memaksa mereka. Kalian boleh tanyakan itu pada mereka. Eh, maksudku kalian bisa membuktikannya.” Salah satu dari mereka yang sedang berada di sudut Masjid berkata demikian. Sungguh tak ada yang mengira bahwa pendukung Ulama akan mengatakan hal demikian. Dan mereka¾warga yang sedang menyaksikan peristiwa itu¾ percaya dengan pernyataan yang disampaikan melalui jendela Masjid. Tapi bukan itu yang diharapkan oleh kelompok-kelompok ini. Juga aku. Apalagi anak-anakku yang katanya bersikukuh berdiam di dalam Masjid. Tapi keadaan memaksa. Di sebelah timur dekat tanah lapang, beberapa ambulan milik pemerintah telah dipersiapkan untuk mengangkut korban dari kedua belah pihak. Dilengkapi dengan tempat tidur dorong, botol infus dan beberapa kantong darah.

Kususuri jalan-jalan kecil dan beraspal dekat sudut kompleks di Lahore menuju belakang Masjid Merah. Mencari celah untuk masuk ke dalam. Tapi yang menghalangi adalah pagar-pagar besi dan kawat berduri yang sengaja telah dipasang oleh pendukung Ulama agar tak ada yang dapat masuk. Aku coba memastikan kalau mereka sedang tidak mengawasiku. Tiba-tiba terdengar suara tembakan senapan dari arah Masjid Merah disusul kemudian sebuah peluru menembus batang kayu yang berdiri kokoh tepat di sampingku. Seketika itu pula, kulit pohon yang ulet, pecah dan berkecai. Ah, aku ketahuan.

Tak ada cara lain lagi. Aku harus segera pergi dari sini, menghubungi polisi dan pemerintah. Ketika kuadukan, tak ada yang peduli bahkan pemerintah sekalipun. Aku hanya dapat membayangkan Musharraf yang sedang berkhotbah di depan ribuan warga Pakistan seraya menyerukan kalimat-kalimat perdamaian.

“Oh Tuhan! Tolong selamatkan anak-anak saya.” Tidak ada yang mendengar keluhanku di tengah kerumunan warga yang berada tidak jauh dari masjid merah. Mereka hanya menyerukan hal serupa, yang disampaikan oleh pendukung Ulama. Bahkan mereka tidak segan-segan membunuh seorang imigran China yang diduga menjalankan prostitusi di Islamabad. Walaupun ia mengaku tidak bersalah, tapi ujung pistol tetap saja mampir di jidatnya yang hanya berjarak beberapa senti meter.

Dilematis. Itu yang dapat aku rasakan. Seharusnya pertikaian ini tidak harus terjadi. Ah, peduli apa aku dengan semua itu. Anak-anakku dalam bahaya. Setahun yang lalu kuhantar mereka untuk belajar di Masjid itu tapi entah pelajaran apa yang mereka dapat di sana hingga salah seorang dari mereka mengatakan bahwa anak-anakku dengan rela diri untuk tetap memilih bertahan di dalam Masjid Merah. Suatu ketika pernah kutanyakan satu hal kepada mereka bahwa apa yang kelak akan kalian lakukan setelah ini, setelah semua terlihat sama dan tak ada pembeda. Ternyata pilihan ini adalah jawaban dari pertanyaan yang kuutarakan beberapa tahun lalu. Jawaban ini yang akan mereka pertahankan dan perjuangkan dalam barisan pendukung Ulama. Tapi tetap secara naluri aku tidak ingin anak-anakku terjebak ke dalam lubang yang lebih dalam, yang membawa mereka ke dasar yang tak berpenghujung. Aku ayahnya, dan akan tetap begitu sampai aku dapat menyelamatkan mereka dari lubang itu. Hanya saja aku harus lebih jeli dalam memilih, lubang mana yang akan membawaku kepada mereka. Pertikaian semakin memuncak.

Darah demi kekuasaan. Demikian mereka menjuluki serangan itu. Bagaimana Masjid yang seharusnya merupakan tempat beribadah dapat menjadi sarana baku tembak. Barangkali satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini adalah mukjizat dari Tuhan. Mengapa permasalahan in tidak dibicarakan baik-baik dengan pihak pemerintah atau mungkin sudah tidak ada lagi tempat berdiskusi yang baik, yang akan memperjuangkan syariah islam di Pakistan.

Pilihannya adalah Musharraf harus mundur. Begitu mereka memutuskan setiap kali diskusi mulai mencapai puncak ketegangan yang kemudian mereda dengan baku hantam. Delapan tahun pemerintahannya telah menumbuhkan radikalisme dalam hati rakyat. Tapi bagiku, ini merupakan persoalan internasional. Sampai saat ini pun kurasa belum ada pemecahan yang berarti.

Ah, sedang apa aku ini. Kembali kepada tujuan awal, yang harus segera kulakukan adalah menyelinap ke dalam Masjid Merah dengan caraku sendiri. Aku tidak ingin anak-anakku mati konyol. Biar aku saja yang melakukannya sebab tidak ada yang dapat dimintai pertolongan dalam kondisi seperti ini.

***

Wahai istriku, sesungguhnya benar apa yang pernah kau katakan kepadaku ketika aku menghantarmu ke klinik Gamal Sechan untuk melakukan persalinan anak kedua kita, Uswah. Kau bilang; jika kelak anak yang kulahirkan mendustai agama dan Tuhan maka luruskan ia dengan pengorbanan dan keikhlasan, aku yakin akan terang jalan pikirannya dan setelah kita berbuat sesuatu yang berarti kelak ia akan membalasnya dengan tanpa kita duga-duga, begitu pula dengan Akmal.

Aku masih ingat kata-kata yang membikin perasaanku bertambah padamu sampai ketika kau menghembuskan nafas terakhir di kamar persalinan itu. Dan sekarang ingatan itu kembali padaku dan membikin aku dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menyakitkan. Tahukah kau, bahwa anak-anak kita telah memilih jalan ini. Aku tidak mengerti apakah jalan ini jalan yang terang seperti yang pernah kau katakan atau hanya pelampiasan atas ketidakpuasan mereka terhadap ajaran kita dan Tuhan. Tapi aku ini masih punya rasa, masih punya cinta, bahwa mereka tetaplah anak-anak kita. Mereka harus kembali pada kita sebab aku yakin Tuhan sedang menguji kita. Dan sempat aku berpikir setelah mendoakanmu di pemakaman bahwa akan ada tempat yang lebih baik setelah ini. Itu yang membikin aku berani hidup dan sanggup menghadapi resiko-resiko yang belum ada apa-apanya ini.

Lamunanku buyar setelah mendengar sorak sorai dari warga Islamabad yang dengan semangat meneriakan panji-panji kebenaran dan ayat-ayat suci Tuhan di depan Masjid Merah. Aku tenggelam di antara kerumunan mereka yang penuh peluh dan keyakinan. Semangat mereka masuk ke dalam tubuh dan bangkit sesosok Fazil di dadaku. Fazil yang kau cintai ini, istriku.

“Pinjamkan kayu itu padaku.” Kataku di sela-sela teriakan mereka. Aku berlari ke arah masjid merah setelah salah seorang dari mereka memberikan sebatang kayu pengikat bendera dengan pandangan penuh keyakinan padaku.

“Ambil dia, anak-anakmu.” Di antara berondongan peluru yang datang dari balik tembok dan jendela Masjid Merah, aku mendengar sesuara seperti kokangan senapan rakitan dan aroma bubuk mesiu yang semakin aku mendekat semakin menyengat aromanya. Bisikan demi bisikan yang mengatakan “darah demi kekuasaan” terdengar jelas dan mencubit telingaku pelan-pelan. Kadang-kadang mereka yang berdiam di punggungku mendukung dan mencegah apa yang sedang kulakukan. Mereka belum mengerti bahwa bagiku anak-anak adalah harta kekayaan yang tak ada pembandingnya di dalam sebuah keluarga. Apa mereka belum pernah mendapatkan harta kekayaan itu atau mereka tidak akan dapat memahami tentang betapa berartinya seorang anak di dunia sedangkan aku punya dua, pikirku. Inilah alasanku untuk terus maju dan berani mengambil resiko-resiko yang sulit dan penuh dengan pilihan yang dapat menjerumuskan hati dan pikiran rasional.

Walau bagaimanapun, aku tetaplah manusia. Keragu-raguan mulai hinggap dan bersarang dalam diri. Ketakutan berdiam di kelembagaan hati. Bila aku ingin, masih sempat untuk berbalik arah sebelum berondongan peluru menembus tubuh dan membikin ngalir darahku.

Tiba-tiba pandanganku menembus jendela Masjid Merah dan aku dapat dengan jelas melihat Akmal. Matanya berair. Sebelum ia berani berteriak, seorang pendukung Ulama membungkam mulutnya. Mereka telah berbohong. Anak-anakku tidak menawarkan diri untuk tetap berdiam di dalam dan itu bukan keinginan mereka. Semakin besar keinginanku untuk menyelamatkan mereka. Anak-anakku.

Keinginanku terbang setelah sebuah peluru menembus paha kiriku. Kuseretkan langkah yang hampir mencapai dinding masjid merah yang cukup jauh dari jangkauan pendukung Ulama. Kupecahkan kaca jendela dengan sebatang kayu yang kubawa dan aku masuk ke dalamnya. Semakin aku mencapai anak-anakku semakin banyak lubang di tubuhku dan darah mengalir dengan hebatnya.

Terakhir yang kuingat adalah hangatnya pelukan Akmal dan Uswah yang seolah ingin membalut tubuhku dari luka dan suara-suara polisi Islamabad yang samar-samar mengatakan “tangan di kepala! Buang senjata kalian!”

Mereka telah tertangkap.

Kelak kegembiraan akan kembali. Dan istriku, kata-katamu telah kubuktikan di dalam Masjid Merah ini walaupun dalam memperjuangkannya butuh darah. Maafkan aku yang tak mengunjungimu beberapa bulan ini. Aku terlalu sibuk dengan domba-domba itu. Tapi jangan khawatir, dalam waktu dekat kami bertiga akan datang dan berdoa untukmu. Dan kami juga akan membersihkan kuburanmu dan menyiramnya dengan air suci.

Kandangpadati, 1 Agustus 2007

*Di ilhami dari peristiwa pertikaian antara pendukung Ulama Abdul Rashid Ghazi dan tentara Pakistan di Masjid Merah, Pakistan pada tanggal 10 Juli 2007

Di Perhentian Bis

Di Perhentian Bis
Cerpen Delvi Yandra


Di sepanjang trotoar, aku melangkah gontai dengan map yang selalu kubawa ke pintu-pintu perusahaan. Tak satu pintu pun pernah membentuk wajahku jadi lebih baik serupa lengkung senyum dan sipit mata yang menyabit di antara orang kebanyakan. Penawaranku selalu ditolak sebab alasan yang tidak jelas. Tidak sesuai dengan perkiraanku padahal aku berjanji akan jadi pekerja yang baik kalau perusahaan berkenan menerimaku. Tapi kenyataannya, tak satu perusahaan pun berbaik hati padaku. Tak satu pun.

Seorang tua dengan tiba-tiba menepuk pundakku. Ketika itu aku tengah tertidur pada sebuah bangku di salah satu tempat perhentian bis. Mata yang memerah dan berurat-urat. Tampak garis-garis keriput di dahi dan beberapa di pipi. Bibirku memucat dan pecah-pecah serupa lahan tandus. Seketika itu pula aku terjaga sebab seorang tua tak kukenal membuyarkan mimpi yang benar-benar kuharapkan akan menjadi suatu kenyataan. Setidak-tidaknya mimpi itu dapat menghiburku setelah letih seharian melamar kerja. Ke perusahaan. Pintu-pintu kantor yang dapat memberi cahaya terang bagi masa depanku, Sri dan si buah hati yang masih berusia tiga bulan berdiam di dalam perut istriku. Sri.

“Maaf nak, ini bis yang terakhir. Apa anak tidak akan naik?” Orang tua itu bertanya seolah-olah ia adalah seseorang yang akan membunuhku dengan tatapan tajamnya. Menyelinap halimun ke dalam pori-pori dan menikam jantungku. Tapi ia memulainya dengan cukup sopan.

“Oh, Eh iya. Bapak bilang apa tadi?” Aku terkesiap dan mempersiapkan diri untuk beranjak dan menjauh dari orang tua itu. Tindakan yang kulakukan dengan tidak sengaja.

“Maksudku, apa anak tidak akan naik bis ini sebab tidak ada bis lain yang akan lewat jalan ini, lagipula hari sudah senja. Sebenarnya anak mau kemana? Dan kenapa bisa sampai tertidur di sini?” Pertanyaan orang tua itu mulai menjurus ke hal-hal yang tak perlu ia tanyakan. Aku mulai mencurigai orang tua yang entah dari mana datang menanyakan sesuatu yang bukan kepentingannya.

“Saya tidak sedang mau kemana-mana, saya hanya kelelahan saja jadi bapak silakan duluan. Saya tidak apa-apa.” Aku langsung menangkis pertanyaan yang dilontarkan orang tua itu agar ia cepat-cepat pergi dari hadapanku. Orang tua itu malah tersenyum simpul sambil membetulkan letak kancing kemeja kusamnya.

“Nama bapak Rustam, bapak sedang senggang hari ini dan bapak juga tidak akan kemana-mana jadi apa anak merasa tidak keberatan kalau bapak temani disini? Sepertinya anak sedang kesusahan, terlihat dari air muka anak.” Ia menerka seperti ia seorang peramal. Aku semakin menjadi-jadi dengan kecemasanku akan kehadirannya. Kutinggalkan orang tua itu dengan mencoba menaiki bis, tapi bis itu telah berlalu dan menjauh dari pandanganku menuju tikungan lalu menghilang.

“Anak tidak usah takut, bapak bukan orang jahat. Bapak hanya ingin membantu kesusahan anak saja. Tidak lebih.” Orang tua itu mulai sedikit-sedikit memberi penjelasan sambil mengajak aku untuk duduk kembali. Matanya itu tidak lagi tajam serupa tadi bahkan terlihat seperti sebuah pancaran cahaya yang sejuk apabila ditatap mata lawan bicara. Kubayangkan serupa tatapan kasih sayang orang tua terhadap anaknya yang telah lama berpisah akhirnya bertemu kembali.

***

Senja menuju tampuknya di susul malam yang memberi pekat cahaya pada bulan dilingkup halimun. Padahal suasana kota masih ramai seperti biasa, baru sekitar jam tujuh dan kendaraan masih banyak yang berlalu lalang. Tapi, entah mengapa suasana di perhentian bis ini seolah-olah mencekam. Seperti ada kesepian yang benar-benar hampa berselimut di sini. Orang tua itu memaku tubuhnya dilingkup bangku. Mulutnya mengeluarkan asap setelah menghisap segulung nipah yang ia keluarkan dari balik kemeja kusamnya. Orang tua itu mengundang misteri. Walaupun sebelumnya ia telah memberi penjelasan. Tapi belum sedikit pun ia menjelaskan siapa ia sebenarnya.

Keluarlah kata-kata dari mulutnya yang berasap nipah. Sebenarnya aku ingin muntah ketika ia berkata-kata. Jujur kukatakan bahwa mulutnya itu berbau busuk. Tapi kuurungkan sebab khawatir kalau hal itu kulakukan tentu akan menyakiti perasaannya apalagi ia hanya seorang tua. Tangannya yang keriput dan penuh tonjolan-tonjolan, gemetar dan bergeletuk di pangkal pahaku kemudian menatapku dari bawah sampai ke atas dengan matanya yang kuyu.

“Anak berasal dari mana? Sudah berapa lama bapak di sini tapi belum sekali pun bapak pernah melihat anak. Hari ini baru yang pertama.” Sebuah pertanyaan meluncur dari mulut orang tua itu.

“Ah, bukan. Saya bukan dari daerah sini. Saya hanya kebetulan lewat dan mau pulang tapi bapak lihat sendiri tadi kalau saya sudah ketinggalan bis.” Aku mulai membuka diri walaupun tidak akan kukatakan semuanya. Aku hanya tidak ingin orang tua ini terlalu jauh masuk ke kehidupanku. Lagi pula untuk apa ia mengetahui urusanku.

“Oh, jadi anak akan menginap di sini? Bagaimana kalau di rumah bapak saja?” Penawaran yang menguntungkan bagiku. Tapi tidak. Aku tidak akan ke rumahnya. Tidak akan masuk ke dalam kamarnya. Apalagi berbaring di tempat tidurnya. Aku jadi curiga. Bukannya aku ingin bermaksud yang tidak-tidak tapi ini benar-benar aneh. Baru kenal sebentar ini ia sudah begitu baik padaku. Bahkan aku belum menyebut namaku.

“Ah, tidak usah. Saya tidak apa-apa. Di sini juga tidak apa-apa. Lagi pula saya tidak akan lama di sini.” Ku tolak tawarannya mentah-mentah. keningnya mulai mengerut dan bentuk matanya aneh seperti mencurigaiku.

“Tidak baik kalau anak tetap tinggal di sini sebab sepengetahuan bapak setiap malam di sini selalu ada kejadian aneh yang membuat orang-orang sekitar tidak ada yang berani lewat di sini apalagi kalau sudah lewat tengah malam.” Orang tua ini mulai tidak keruan bicaranya. Seolah-olah ia ingin memaksa aku untuk menginap di rumahnya dengan mengarang cerita-cerita aneh.

“Ah, bapak ada-ada saja. Mana mungkin ada kejadian aneh di tempat seperti ini.” Kucoba menghibur diri. Tapi tidak dapat kusangkal kalau tempat ini memang terasa ganjil; pohon-pohon besar berjejer di belakang jalan dan semerawut, sebuah gubuk kosong dan tidak terawat seperti dibiarkan saja oleh pemerintah untuk tidak di gusur berdiri di tepi jalan. Semuanya seolah-olah membangun kesan mistis yang rahasianya tak pernah terungkap. Ya Tuhan! Apa yang sedang kupikirkan. Mana mungkin di zaman yang serba instan dan modern ini ada kejadian aneh. Orang-orang tidak akan ada lagi yang percaya dengan hal-hal yang begituan malah mereka akan menertawakannya. Orang tua ini mencoba mengelabuiku dengan cara-cara klasiknya. Sekiranya aku ini anak kecil yang dengan mudahnya di bujuk hanya dengan sebungkus permen. Tidak. Aku tidak akan tertipu.

“Terserah kalau anak tidak mau percaya. Bapak juga tidak akan memaksa. Anak tetap tinggal di sini itu juga urusan anak. Bapak tidak akan ikut campur. Tapi jangan salahkan bapak kalau terjadi apa-apa pada anak nantinya sebab anak sudah bapak beritahu.” Seperti sebuah ancaman keluar dari mulut orang tua itu. Aku tidak akan bergeming. Lagi pula apa hubungannya aku dengan orang tua itu yang tiba-tiba saja entah dari mana datang dan mengancamku. Sekiranya aku takut. Tidak.

“Saya tidak habis pikir, kenapa bapak begitu peduli pada saya padahal saya tidak berbuat sesuatu untuk bapak? Apa yang bapak inginkan dari saya?” Aku mulai marah. Naik darah. Orang tua itu sengaja membuat aku kesal sedemikian rupa agar aku ikut dengannya atau pergi dari sini.

“Nak, bukan maksud bapak untuk...”

“Ah, lebih baik bapak tidak usah ikut campur urusan saya. Saya mau ini saya mau itu, itu urusan saya jadi tolong bapak jangan ganggu saya.” Marahku sudah tidak tertahan lagi melihat tingkah orang tua itu. Ia gelagapan.

“Euh anu, baik. Bapak akan pergi. Tapi jangan salahkan bapak kalau...”

“Saya bilang pergi! Jangan ganggu saya!”

“Baik. Baik bapak pergi.” Kemudian orang tua itu berlalu dari hadapanku. Aku tidak melepaskan pandanganku sampai ia menghilang di tikungan. Orang tua yang menjengkelkan. Kutarik napas panjang pertanda bahwa aku lega sebab ia pergi dari hadapanku. Dari pikiranku.

***

Malam semakin menuju puncaknya di balik pucuk pohon beringin. Mataku tak mau terpejam sebab masih teringat perkataan orang tua tadi. Seketika itu pula bulu remangku berdiri. Hawa dingin berkelebat di tubuhku. Kusapu pandangan ke segala penjuru. Memang benar tempat ini ganjil; gubuk usang dan pohon-pohon besar yang semerawut. Bulan penuh memancarkan cahaya terang seperti membentuk raut wajah seseorang di dalam lingkarannya. Aku jadi teringat kampung. Teringat Sri. Sedang apa ia sekarang? Sudah tidurkah ia? Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya. Tapi aku terjebak di sini. Di perhentian bis.

Pandanganku kembali tertumbuk pada gubuk usang tadi. Menurutku tempat itu yang paling aneh di sini. Aku jadi penasaran dengannya. Lamat-lamat kudekati juga gubuk itu. Beratap rumbia dan lantai beranda yang hanya terbentuk dari tanah sedikit menonjol ke atas. Sebuah kursi dari bambu yang terletak di teras mulai kusam bentuknya. Warnanya pun mulai pudar. Jendelanya pun dibiarkan terbuka dan laba-laba membuat sarang di situ. Gubuk itu seperti sudah lama di tinggalkan pemiliknya. Kubuka pintu muka. Ternyata tidak terkunci. Terdengar suara pintu itu berderik ketika di buka. Udara pengap berseliweran dari dalam, di tambah lagi cahaya bulan yang masuk di sela-sela atapnya menciptakan suasana yang mengerikan. Baru selangkah kakiku menginjak isi gubuk itu terciumlah bau busuk yang menyengat. Tapi mataku tertumbuk pada sebingkai gambar kusam yang tergantung di dinding. Kulekatkan pandangan dalam-dalam ke gambar itu. Seekor kucing. Matanya seolah-olah terus memperhatikan aku. Anehnya, mengapa ada gambar seekor kucing di gubuk ini? Apa pemiliknya pecinta hewan? Trang! Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang. Seperti suara peralatan dapur yang saling beradu satu sama lain. Keras sekali. Aku terkejut. Langsung kualihkan pandangan ke belakang. Dengan hati-hati aku mulai melangkah pelan-pelan ke arah suara itu. Tapi suara itu tidak terdengar lagi. Menjadi hening kembali. Aku harus waspada. Jangan-jangan ada seseorang di gubuk ini. Pelan-pelan kulangkahkan kaki sambil meraba-raba ke depan dan ke samping. Bau busuk tadi lebih menyengat dari ketika pertama aku masuk. Aku mulai mengambil kesimpulan bahwa ada sesuatu yang sengaja disembunyikan di dalam gubuk ini. Kuncinya adalah bau busuk ini. Seperti bau manusia. Ah, barangkali hanya asumsiku saja. Tapi entah dari mana bau ini berasal. Gubuk ini terlalu kecil untuk menyembunyikan bau busuk yang menyengat. Anehnya, ketika di luar tidak tercium barang sebentar pun bau ini.

Rasa penasaranku mulai bergejolak. Semakin aku ingin mencari tahu apa yang telah terjadi di gubuk ini semakin aku dihinggapi rasa takut. Tanganku meraba sesuatu. Sesuatu yang sedikit menonjol dari balik dinding yang terbuat dari jalinan pandan yang sudah dikeringkan. Kupastikan bahwa ada sesuatu dari balik dinding ini dengan meraba setiap sisinya. Ternyata memang ada sesuatu. Sesegera itu pula aku berusaha mencari sesuatu untuk membuka dinding ini. Apa yang tersembunyi di baliknya. Aku menuju ke depan gubuk. Ke halaman. Kutemukan linggis di bawah kursi muka. Kembali ke belakang. Darahku bergejolak. Keringat mulai keluar dari pori-pori. Muncul rasa ingin menyibak tabir yang selama ini tersimpan rapi di gubuk usang ini. Di gubuk yang seharusnya sudah di gusur oleh pemerintah. Tidak lagi terpikirkan olehku Sri yang menanti di kampung. Rasa ingin tahuku terhadap gubuk ini lebih besar dari pada pekerjaan yang kuharapkan. Dinding kuhantam keras-keras. Pelan-pelan mulai tampak sesuatu. Sebuah lengan jatuh ke lantai. Ya Tuhan! Aku terkejut dan melompat. Baunya semakin sangit. Mengapa bisa ada mayat di gubuk ini. Mayat yang sengaja dipotong-potong. Benar dugaanku bahwa ada mayat di sini. Tanggung terbuka. Kuhantamkan linggis lebih keras lagi. Satu-satu potongan tubuh manusia mulai berceceran di lantai. Tanpa kepala. Kemana kepalanya? Pembunuhnya sengaja tidak meninggalkan bukti dengan memisahkan bagian tubuh mayat dan kepala. Benar-benar cerdas dan sadis.

Badanku mulai gemetar. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya. Ah, lebih baik aku cepat-cepat pergi dari sini. Jangan sampai orang mengira bahwa akulah yang telah membunuh orang ini.

Secepat kilat aku lari ke muka. Tapi ada seseorang di pintu muka. Ah, ternyata orang tua yang tadi di perhentian bis. Mau apa dia kemari.

“Hei nak, kan sudah kukatakan tadi agar kau pergi dari sini. Kau telah mengacaukan semuanya.” Orang tua itu mengeluarkan sebilah belati dari balik kemejanya dan mengarahkannya padaku.

“Oh, ternyata bapak yang telah membunuh orang itu. Jadi ini yang bapak sembunyikan selama ini.” Kuambil posisi untuk menghindari belatinya.

“Nak, kau harus kubunuh karena kau telah mengetahui semuanya. Semua yang kusimpan rapi di gubuk ini. Tak ada lagi yang akan kusisakan. Termasuk kau.”

“Kenapa bapak membunuhnya? Apa yang bapak inginkan darinya?”

“Itu bukan urusanmu. Dia telah menghancurkan seluruh hidupku. Minah dan dua putriku telah di bunuhnya. Padahal aku telah berjanji akan membayar semua hutang-hutangku padanya tapi dia tak mau mendengarkannya. Inilah balasan yang setimpal untuknya.” Sekarang mulai jelaslah semua rahasia yang tersimpan di gubuk ini. Juga suasana yang mencekam di perhentian bis itu.

“Bapak tahu dengan apa yang telah bapak lakukan?”

“Ah, jangan sok suci anak muda. Mana ada lagi orang jujur di dunia ini. Sekarang kau harus kubunuh!” Orang tua itu mengayunkan belatinya ke arahku. Eits! Hampir saja. Aku harus segera menghindar dan lari dari orang tua sinting ini. Kupacu langkah ke arah belakang. Ah, tidak! Pintu belakang gubuk ini terkunci. Aku terperangkap. Seketika itu sebuah ayunan belati mendarat di kepalaku. Darah mengucur dan bercak-bercaknya menempel di dinding. Senyum puas terpancar dari orang tua itu. Pandanganku kabur. Gelap.

Maafkan aku Sri. Aku telah mengecewakanmu. Tapi kau harus tahu bahwa aku telah berbuat sesuatu yang berarti di sini. Sesuatu yang kau tidak pernah mengerti. Walaupun apa yang aku lakukan ini tidak seorang pun mengetahuinya. Maafkan aku. Jaga anak dalam kandunganmu itu baik-baik. Kelak surat kabar akan memberitakan segalanya. Dari situ pula akan aku sampaikan salam perpisahan untukmu.

Sehari kemudian, tersiar kabar tentang dua sosok mayat yang terpotong-potong dan seorang tua yang mati gantung diri di dalam sebuah gubuk dekat perhentian bis jurusan Malang.

Rumah Teduh, 23 Juni 2007

Sumber; padang ekspres 5 agustus 2007

Cerai Teratai

Cerpen Delvi Yandra

Han Hyun Dong menarik napas panjang ketika melihat keluar jendela dari tingkap apartemen di Youido. Persis di tengah-tengah kota Seoul yang kini sudah jadi kota “mati.” Gedung-gedung berdesakan seperti menunggu antrian panjang yang tak pernah berkesudahan. Matahari enggan disapa sebab perkantoran dan apartemen yang bertingkat-tingkat menghalangi cahayanya. Orang-orang pun seperti dikejar waktu dan jadilah mereka robot-robot bernyawa yang bergerak setiap hari secara statis. Ah, barangkali hanya sungai Han yang bisa jadi hiasan abadi di kota ini. Sungai itu mengalir melewati Seoul. Hyun tersentak dari lamunan ketika mendengar suara gumamanku yang setengah sadar.

“Kau sudah bangun?” sapa Hyun.

“Ah, aku belum ingin bangun. Sayang, bisakah kau tutup tirai itu?” pintaku. Hyun malah menghampiri jam weker yang terletak di atas meja dekat tempat tidur. Kemudian Ia mengangkat jam weker itu lalu menunjukannya padaku.

“Kau tahu jam berapa sekarang?”

Aku kaget dan langsung melompat dari tempat tidur. “Ya ampun! aku lupa menyetel alarmnya,” pikirku sembari bergegas ke kamar mandi tanpa melepas piyama.

Sarapan tersaji. Masakan Hyun menjadi sesuatu yang selalu ditunggu-tunggu setiap pagi ketika aku akan berangkat kerja. Rupa-rupanya aku telah jatuh cinta tidak hanya pada Hyun tapi juga pada masakannya. Sungguh. Kimchi buatannya pagi ini pasti enak. Kadang-kadang bulgogi di akhir pekan yaitu potongan-potongan daging yang dipanggang di atas tungku setelah diasinkan dalam sebuah pencampur sambal, minyak wijen, bawang putih, biji wijen, bawang hijau dan bumbu makanan lainnya. Ia tahu kalau aku suka pedas dan panas jadi ia menyajikannya dengan “sedemikian rupa.” Makan dengan tenang. Selepas sarapan aku pamit lalu bergegas turun sedang Hyun membereskan kembali meja makan. Segera. Turun dengan lift. Tidak. Beberapa hari yang lalu lift di sini rusak akibat salah seorang penghuni apartemen salah menekan tombol dari dalam lift tersebut, jadi harus menggunakan satu-satunya alternatif lain yaitu dengan menuruni tangga. Butuh waktu cukup lama juga untuk turun dari lantai 26 ini. Ya. Apalagi untuk sampai ke tempat kerja, aku mengukur waktu supaya tidak terlambat. Sesampai di bawah aku cukup merasa kelelahan. Sedikit berkeringat. Di depan apartemen terdapat sebuah kolam yang dihiasi dua kumpulan teratai. Di tengahnya berdiri kokoh sebuah patung yaitu seorang perempuan (kira-kira usianya tiga puluh-an) yang memegang setangkai teratai di tangan kanannya, sedangkan tangan kiri menyentuh dada dan matanya menatap jauh ke dalam air yang berada di kolam tersebut. Biasanya tiap-tiap rumah ada kolam teratainya tapi sekarang kebiasaan itu hampir jarang dijumpai kecuali di rumah-rumah daerah pedesaan. Di apartemen ini pun mungkin hanya suatu kebetulan yang wajar. Jalan penuh sesak. Orang-orang lebih senang berjalan kaki daripada naik bis. Jalan kaki menjadi alternatif yang dipilih supaya tidak terlambat pergi ke kantor, sekolah, dan segala tetek bengek kegiatan sehari-hari lainnya. Mereka beranggapan bahwa jalan kaki lebih cepat sampai di tujuan daripada naik bis. Terbukti. Di halte. Aku menunggu lagi seperti biasa. Bis layaknya mesin pengendali kehidupan. Terlambat sedetik saja bisa jadi terlambat berjam-jam. Untung saja tidak terlambat. Akhirnya sampai juga.

Aku bekerja di Chosun Ilbo. Sebuah instansi surat kabar tertua yang ada di Korea. Dong-A Ilbo. Juga merupakan yang tertua bersamaan dengan Chosun Ilbo. Media-media tersebut diresmikan pada tahun 1920 yang (menurut kabarnya) dianggap untuk kemerdekaan dan kebijaksanaan dalam mempengaruhi opini publik. Sungguh pengalaman yang menyenangkan bisa melakukan pekerjaan sebagai seorang kreator pada media yang namanya sudah melanglang buana itu. Tidak mudah mendapatkan pekerjaan ini jadi harus berusaha semaksimal mungkin.

Pernah suatu ketika aku membuat satu kesalahan (tepatnya kelalaian) sehingga redaktur memaki-maki aku dan hasil kerjaku yang menurutnya berantakan. Aku tidak terpukul. Sedih. Juga tidak. Malah jadi tambah semangat bekerja dan lebih berhati-hati lagi. Jadwal kerja semakin padat. Sirkulasi surat kabar meningkat tajam. Hampir sepertiga hari kuhabiskan hanya untuk duduk di kursi kerja. Sibuk. Repot.

Lelah. Kata-kata itu sering muncul dalam pikiranku setiap kali usai bekerja. Betapa tidak, pagi-pagi tumpukan kertas sudah menanti lagi di atas meja kerja. Pulang larut. Disamping itu semua, ada hal lain yang mesti diutamakan. Keluarga. Ya. Ketika tiba di rumah, Hyun seperti biasa menunggu kepulanganku di kursi sofa dekat depan pintu. Suamiku. Ia laki-laki tangguh yang bekerja di rumah layaknya seorang ibu rumah tangga. Ia menggantikan peran sesungguhnya seorang istri. Kadang-kadang ia juga sempat menulis. Profesinya. Tulisannya pernah dimuat dalam surat kabar tempat aku bekerja (kadang-kadang juga disurat kabar lain). Ia begitu perhatian padaku dalam hal apapun. Juga pengertiannya itu. Aku jadi takut kehilangannya. Takut kalau-kalau nanti ia berubah pikiran.

Festival Chusok. Hari yang ditunggu-tunggu di mana aku bisa membagi waktu dengan suami di luar pekerjaan. Hilang beban sejenak. Chusok merupakan perayaan besar yang diiringi oleh tarian Kanggangsuwolle untuk memperingati hari lahirnya Budha. Di adakan di sebuah ruangan seperti arena yang luas, biasanya ruangan tersebut memang ditujukan untuk perayaan-perayaan besar (kadang-kadang juga untuk pementasan). Aku menikmatinya. Juga suamiku. Tidak. Sanak keluarga tidak sedang bersama kami. Wajar. Aku sudah memilih Hyun. Aku yakin dengan pilihan ini. Sebenarnya memang dari dulu mereka tidak menyetujui hubunganku dengan Hyun. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi jauh meninggalkan mereka. Ah, aku jadi teringat mereka lagi. sudahlah.

Sekarang hidup kami sudah mapan tapi rasanya masih ada saja yang kurang. Ya. Sudah sewindu kami menikah tapi belum juga dikaruniai seorang anak yang keberadaannya selalu didambakan dalam kehidupan rumah tangga. Segala cara kami lakukan. Segala obat kami coba. Ada juga yang dicoba-coba. Pernah juga sekali waktu kami konsultasi ke klinik. Dokter bilang suamiku yang tidak mau “berusaha.” Sebenarnya bisa saja kami mengadopsi seorang anak tapi itu bukanlah suatu keputusan akhir yang kami anggap baik. Hyun tidak marah. Putus asa. Tidak juga. Sedih apalagi. Padahal aku berkali-kali mencemaskannya, tapi ia tak memberi reaksi sedikitpun. Apa ia merasa hal ini tidak terlalu penting? Apa mungkin ini karma? Lama-lama kami jadi merasa asing. Kemelut batin yang juga asing.

***

Tidak seperti hari-hari yang lalu. Aku pulang larut lagi. Lebih larut dari biasanya. Di salah satu sudut dinding, jarum jam menunjukan pukul dua belas lewat dua puluh lima menit tengah malam. Hyun masih duduk di sofa. Menungguku. Tapi kali ini aku merasa seolah-olah ia menyambut kepulanganku dengan ribu-ribu pertanyaan. Kemudian ia memanggilku untuk duduk di dekatnya. Aneh. Padahal biasanya ia langsung menuntunku ke kamar tidur. Aku langsung berpikir kalau ia akan mengatakan sesuatu yang sangat penting. Lebih dari kata-kata yang pernah diucapkannya selama ini. Akhirnya aku pun menurutinya.

“Hwa Rin, aku mau bicara. Mungkin sebuah pertanyaan,” Hyun menatapku tajam.

“Pasti sesuatu yang penting,” aku menebak sembari meletakkan tas kerjaku di atas meja dekat sofa tempat Hyun duduk.

“Menurutku”

“Menurutmu?”

“Ya, menurutku. Aku tidak yakin menurutmu juga sama denganku,” Ia lebih tajam lagi menatapku. Sampai ke isi dalam mataku. Aku jadi semakin bingung dengan apa yang ia sampaikan diawal pertanyaan yang akan diutarakannya. Semakin penasaran. Aku menimbang bahwa aku ini istri yang baik selama ini. Bahkan menurut sudut pandangku, aku tidak pernah melakukan kesalahan yang akan membuatnya sakit hati atau mungkin melakukan sesuatu yang tidak menyenangkannya. Aku coba mengingat kembali satu persatu. Benar-benar tidak ada. Sungguh.

“Apa yang menurutmu penting sayang,” kucoba memegang tangannya.

“Boleh aku minum dulu?” pintanya.

“Minum? Jadi itu yang menurutmu penting?” aku berbalik tanya.

“Bukan, aku benar-benar ingin minum!” tegasnya.

“Oh, sebentar.” Lalu aku bergegas ke dapur.

Semakin bingung. Kusut. Serupa benang kusut yang masuk dalam kepalaku. Sulit untuk digulung dengan rapi. Ah, mungkin aku terlalu berpikiran buruk sehingga aku tenggelam dalam kecemasan. Padahal setahuku selama ini hubunganku dengan Hyun baik-baik saja. Sekiraku kalau boleh aku bangga, rumah tanggaku mungkin lebih baik (boleh dibilang akur) daripada keluarga kebanyakan. Kutuang air dari cerek yang terletak di atas etalase dekat sudut dapur ke dalam cangkir bermotif teratai yang tertelungkup di atas meja dapur. Lalu kembali ke ruang tamu tempat Hyun menunggu secangkir air putih dariku. Sebelum sampai, di balik daun pintu menuju ruang tamu kuhentikan langkahku sebentar. Kulihat ia masih duduk di sofa dengan wajah mengkerut dan tangan yang menekuk di keningnya. Sempat terpikir olehku, pertanyaan apa yang akan disampaikannya padaku hingga ia begitu kalutnya. Ah, lagi-lagi aku begini. Kuhampiri ia. Sebelum meneguk air itu, sekilas ia menatap tajam lagi padaku. Sekiraku, aku ini seperti orang lain saja di matanya. Ah, lagi-lagi! Ia meminumnya. Kubayangkan kalau air putih itu adalah aku. Ditelan ke dalam perutnya yang gelap.

“Terima kasih Hwa Rin”

“…”

“Dam Hwa Rin? Kenapa?”

“Oh, tidak”

“Aku jadi ragu untuk menanyakannya”

“kenapa? Padahal sudah sedari tadi aku menantinya”

“Aku ragu bila melihat keadaanmu sekarang”

“Tidak, jangan urungkan. Aku sudah siap”

“Siap? Untuk apa? Tidak ada yang perlu di persiapkan”

“Aku tahu, mulailah bertanya”

“Benarkah?”

“Ya, mulailah”

Lama sekali. Kami saling tertumbuk pandang. Berdiam diri. Detak jarum jam berbunyi keras sekali hingga menimpali suara apapun di ruangan ini. Aku masih menunggu lama hanya untuk sebuah pertanyaan darinya. Pertanyaan yang barangkali menentukan hidup mati perjalanan rumah tangga kami. Asumsiku demikian. Tapi tidak menutup kemungkinan juga perkiraanku itu benar. Berbanding lima puluh persen dari kebalikannya.

“Apalagi?” tanyaku.

“Menyusun”

“Menyusun apa,” aku jadi heran.

“Kata-kataku”

“Langsung saja,” pintaku.

“Tidak bisa, salah-salah nanti bisa tersinggung”

“Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan itu”

“Siapa yang telah membuatmu tersinggung?” tanya Hyun segera.

“Tidak separah yang kau bayangkan, hanya redaktur yang sedikit kecewa kok,” aku memperjelas kata-kataku.

“Oh, jadi kau mengecewakannya?”

“Hanya sedikit, itu pun tidak begitu penting,” dalihku.

“Syukurlah”

“Susunlah”

”Apa?”

“Kata-katamu tadi”

“Aku bingung memulainya, bagaimana kalau kita istirahat dulu?” tawar Hyun.

“Mana bisa, aku tidak akan bisa tidur”

Ah, Hyun mulai berbelit-belit. Aku jadi tidak nyaman. Apalagi untuk tidur. Ia seolah-olah mengulur waktu untuk sesuatu yang sedang ditunggunya. Menunggu aku marah. Naik darah. Jangan sampai itu terjadi. Tidak pernah ia seperti ini sebelumnya. Jauh hari aku mengenalnya sebagai orang yang penyabar dan baik. Sempurna. Sangat jauh berbeda dengan Hyun yang baru kukenal malam ini. Ia begitu misterius. Juga lebih serius dari biasanya.

“Bagaimana kalau kita berpisah,” tiba-tiba Hyun mengatakan sesuatu. Hening. Apa yang sedari tadi terpikirkan olehku jadi hilang. Aku seakan tidak percaya. Kalau bisa, aku ingin ia mengulangi kata-katanya barusan. Kucoba itu.

“Apa?”

“Kita pisah”, jelas Hyun.

“Maksudmu cerai,” tanyaku ragu.

“Ya”

Sudah kuduga. Kecemasanku terungkap. Apa yang menjadi ketakutanku selama bersamanya meledak seketika itu. Padahal sebelumnya kami saling percaya bahwa akan segera memiliki anak. Kurasa aku tidak perlu lagi menanyakan alasannya. Jawabannya sudah lama bersarang di kepalaku. Kecukupan selama ini ternyata adalah kekurangan. Hyun menyimpan semuanya dan sekarang ia utarakan. Luapan perasaan sebenarnya. Emosinya itu. Suasana hampa. Beku. Teratai dalam kolam di depan apartemen hanya tinggal sekumpul. Lainnya entah kemana (barangkali tercerai-berai).

Padang, 13 Mei 2007

Kamis, 17 Januari 2008

Sajak-sajak Delvi Yandra

Sumber; Padang Ekspres



ibu di pagi raya

adalah rumpun bunga dalam taman ibu

semekar hati raya yang wewarnanya berupa

kupu kumbang berterbangan mencari sudut

mata ibu yang madu, yang manis mengulit ari

sebagaimana matahari kuning masak di pucuk daun

embun menghilang

sementara bersimpuh pagi

anak-anak baru akan sekolah. Di tanah lapang.

alam bebas selalu punya kelakar

yang menarik, cerita untuk ibu

(kudengar petatah petitih nun jauh)

muasal siang dan malam

dan bunyi bansi di pematang

adalah ibu di pagi raya

Kandangpadati, Agustus 2007


ruang kosong

;Untuk Y dan S.R.

Hati adalah kumparan ruang kosong

yang sepi. Aku khidmat mendengar gaung dalammu

kadang kucemas-cemaskan sendiri

sebelum kau benar-benar angin yang berjumpalitan

di kedalaman khusyukku.

Telah kutempatkan hatiku di ronggamu

yang paling sunyi. Agar dapat kau cerna muntahanku

sebagai puisi.

sebagai batu yang selalu diam dalam ngalir sungai

yang betah menunggu dengan jutaan rakaat

Lalu lumut dan sesampah hulu menghampiriku

pelan-pelan.

Kandangpadati, September 2007



misalkan kau sebuah peta buta

Sulit bagiku membaca desir

angin di bibirmu yang pasi. Kubiar rinai basah di punggungmu

hingga membentuk lekuk dan belahan kata. Diam.

Bukitku sepi tanpa mata angin

sempat kehilangan tempat tuju

kecuali bila ada jejak langkahmu

di sepanjang jalanku

menuntunku pulang atau malah bikin aku

kembali hilang arah bahkan tersesat

Dalam ukuran skala berapa

aku dapat membaca segala apa

yang tergambar di petamu

Kandangpadati, 21 September 2007



madah buat sri di malam jahanam

Kini aku menunggumu hingga palung

Suatu ketika yang telah membikin jauh

Lalu kubarkan malam semakin pekat

semakin pedat. Aku mengumpat sendirian

di waktu yang basah genangan air mata

Air mata. Kering di belahan wajahku

mendarah dedah dalam gigil malam

kubaca makna pada pesan pendek lalu

hatiku telah mencair di lembab kulit

Ketika kau menerima pesan pendek

dari seseorang—bukan aku. Kupastikan lengkung senyummu

begitu lepas. Sedangkan aku telah melepas sakit

yang mencucuk-cucuk dalam batinku

Pasar baru, 07 Oktober 2007


sekat

Aku sekarat disekat jaringmu

tarantula tua menghampiri aku

lalu kamu memahaminya sebagai cinta

Pasar baru, Oktober 2007

Jumat, 11 Januari 2008

garis penghabisan; stalingrad

Sumber; Balai Bahasa Padang

Garis Penghabisan; Stalingrad

Cerpen Delvi Yandra

Empat belas hari lagi aku akan dipulangkan. Koln. Kota kecil tempat dahulu aku pernah menikmati hari-hari bersama Caroline. Juga anak-anak, Gertrud dan Claus. Teh buatan istrikulah yang membikin aku jatuh hati padanya. Juga kesetiaannya. Teh itu disuguhkannya di pagi hari yang sedap sambil duduk di teras rumah mungil lalu menyaksikan pekik Gertrud dan beberapa temannya yang belarian di halaman depan rumah hingga salah satu ada yang jatuh tersandung batu. Kemudian menghentikan permainan begitu saja. Bisa aku bayangkan. Tetapi saat-saat seperti itu jadi sebuah penantian yang panjang sebab perang belum surut. Rusia masih gencar menghujani kota-kota paling vital di Jerman dengan granat dan mortir. Aku bersama tentara Jerman terperangkap di Rusia.

Stalingrad. Merupakan daerah yang paling santai yang pernah aku tempati selama perang berkecamuk di Rusia. Betapa tidak, tiap-tiap tempat yang kudatangi selalu tidak ada waktu untuk istirahat. Apalagi menonton televisi. Bunyi letusan amunisi silih berganti terdengar dari jarak dua sampai tiga kilometer. Harus selalu siap siaga. Sedikit berbeda di Stalingrad. Aku bisa mengisi waktu luang dengan menonton televisi bersama perwira divisi di ruang bawah tanah. Kadang-kadang disela-sela tontonan Hannes menyempatkan diri untuk tidur. Aku juga sempat menulis surat untuk istriku dan paman George sebab pada saat itu aku dan yang lain diberi kebebasan menulis surat kepada siapa saja untuk terakhir kalinya. Sudah dua puluh kali sebenarnya aku mengirimi mereka surat dan surat balasan yang aku terima sampai saat ini semuanya hanya berjumlah tujuh belas. Sehari yang lalu kukirim surat yang ke dua puluh satu. Di surat itu aku menulis “apa Claus sudah bisa pergi ke sekolah sendirian, bagaimana Natal di sana?” atau, hal-hal lain yang biasanya kutanyakan langsung. Aku berharap Natal tahun depan bisa berkumpul bersama mereka. Surat yang aku tulis, kukirim lewat truk-truk pengangkut barang menuju Koln. Biasanya truk-truk tersebut berangkat sebulan sekali sehingga aku harus menunggu lama agar surat tersebut sampai di tujuan.

Di barak, jatah makan sudah ditentukan. Antrian jadi terasa berabad-abad. Roti dan selai kacang. Ya, paling-paling cukuplah untuk menahan rasa lapar. Kadang-kadang, kami membuat roti sendiri dari tepung yang masih tersisa di gudang. Sudah hampir tiga bulan aku disini. Persediaan makanan dan amunisi hanya cukup untuk dua minggu lagi. Selepas meroti biasanya para tentara minum cordon rouge. Begitu pula aku. Seteguk berguna juga untuk menghangatkan tubuh di musim dingin. Amunisi yang tersisa pun harus kugunakan semaksimal mungkin. Apalagi jumlah tentara yang semakin menyusut akibat perang. Ada matanya yang hancur, tangannya yang remuk, kakinya yang diamputasi dan ada juga harapannya yang sirna. Sekarang jumlahnya hanya tinggal enam puluh sembilan dari berbagai divisi. Sungguh situasi yang sampah. Aku merasa beruntung sebab hanya kelingking dan jempolku saja yang hancur. Kemudian aku sadar kalau sebenarnya jari-jari itu dapat kugunakan untuk hal-hal yang sepele. Paling tidak sekarang berguna untuk menembak. Ketika situasi gawat, aku terpaksa menembakkan amunisi banyak-banyak supaya tentara Rusia mengira bahwa tentara Jerman masih memiliki persediaan amunisi yang banyak dan dengan begitu mereka akan menarik mundur tentara mereka. Lalu beringsut. Susut.

***

Hari itu. Seorang pembina rohani memberi pandangan tentang perang bahwa yang baik dilakukan sekarang adalah menegakkan sang saka tinggi-tinggi demi Germania Raya dan “Tuhan selalu bersama kita!“ Kata-kata itu selalu diucapkan setiap kali dia akan mengakhiri kotbahnya. Rohanian itu bicara seolah-olah kami telah sampai pada persoalan dimana filsafat berakhir dan agama bermula. Bagaimana bisa dia melucu dalam situasi yang seserius ini. benar-benar konyol. Lalu aku bertanya kepadanya.

“Lantas apa yang berubah karenanya?“

Suasana hening seketika. Para tentara yang mendengar pertanyaanku serempak menunduk seperti sedang kalah perang. Sejenak terasa ada yang hilang. Barangkali harapan. Pembina rohani itu menarik napas panjang. Lalu berkata.

“Mendengar pertanyaanmu itu, aku seperti mendapat tamparan keras. Tahukah kalian sekalian bahwa seorang pembina rohani seperti aku tidak bisa berbuat apa-apa selain ini. Jadi, jalan kita masing-masing sudah ditentukan. Kalian dengan senapan di dada dan aku… ya, seperti inilah. Buatlah sesuka kalian. Aku hanya berharap bahwa apa yang kita hadapi sekarang jangan sampai kelak anak kita tahu bahwa kita adalah ksatria payah yang dikirim hanya untuk menegakkan panji-panji keadilan semata di negara yang selalu meneriakan “Herr…Hittler!” dan bukan demi kepentingan manusiawi. Jangan pula nanti mereka mengalami nasib seperti kita. Ketahuilah, Tuhan selalu bersama kita!”

Kemudian pembina rohani itu berlalu dari hadapan kami sembari menahan isak tangis. Aku sempat melihat air mata yang terpaksa jatuh di pipi keriputnya. Kurasa dia juga sama seperti kami. Juga merindukan keluarga dan segenap perdamaian. Tapi apalah yang bisa dilakukan oleh perwira yang lemah seperti aku dengan kegiatan yang tak pernah akan usai dan tanpa hasil ini. Sebenarnya aku tidak pernah punya jiwa tentara. Hikmah apa yang kudapat dari peristiwa seperti ini. Ternyata benar bahwa hal-hal kecil maupun hal-hal besar adalah sama saja. Aku yakin, kalau nanti Stalingrad jatuh ke tangan musuh maka orang-orang akan membaca beritanya di koran-koran dan aku tidak akan pernah bisa pulang. Begitu pula dengan kawan-kawanku di sini.

***

Hari ini, suasana tetap tenang-tenang saja. Para tentara mulai ogah-ogahan. Belum terlihat tanda-tanda akan datang serangan dari pihak Rusia. Padahal baru beberapa bulan yang lalu Stalingrad diserang. Kupandangi kalender di atas meja salah satu pos penjaga, 4 Januari, 1932. Sekilas teringat kembali olehku empat tahun yang lalu di tanggal, bulan, dan tahun yang sama. Ketika itu aku memainkan appasionata pada sebuah grand piano di suatu jalan kecil dekat lapangan merah. Suatu peristiwa yang langka. Piano besar tersebut persis terletak di tengah jalan. Kemudian mendadak rumah di tempat itu diledakkan oleh tentara Rusia yang menyerang secara membabi buta. Dan piano itu tidak sempat diungsikan sebab penduduk sudah lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Piano itu ikut terbakar. Sekarang sisa-sisanya membekas dalam ingatan.

Ah, tiba-tiba lamunanku dibuyarkan oleh suara Beethoven disusul ledakan granat dari pos depan. Para tentara lari berhamburan dan bersiaga di posisi masing-masing. Aku tidak menyangka akan datang serangan dalam situasi sesantai ini. Gawat! Ternyata tentara Rusia sudah mengepung Stalingrad. Kami terjebak. Kurt Hahnke, si pendek yang sigap. Melompat lalu menyudut di garis depan. Aku juga harus segera bersiap-siaga. Dengan seragam lengkap sambil merayap di atas tanah basah kususul dia. Dan bertanya.

“Siapa yang memimpin? “

“Hannes…“

“Ah, dia kan sudah terlalu tua untuk itu! atas perintah siapa?”

“Hittler!“

“Dia?“

“Ya!“

“Sial! Dia harus membayar untuk semua ini! “

Hahnke menatapku tajam dan berkata, ”hei, bukankah kau ada di sini atas kehendakmu sendiri bahkan kurasa sanak keluarga dengan bangga melepas kepergianmu ke medan pertempuran ini?“

“Goblok! apa kau tidak pernah berpikir bahwa semua ini sia-sia, sekarang aku baru sadar kalau kita hanya mendapat peran pelengkap penderita saja di negara yang penuh dengan kepura-puraan ini” jawabku tegas.

“He! kenapa kau jadi perasa begini, jadi kita harus bagaimana sekarang? Sudahlah, pegang saja senjatamu itu erat-erat kalau tidak mau mati konyol”

Hahnke mengacuhkanku lalu merayap ke depan dekat Hannes. Suara-suara dentuman terdengar seperti komposisi musik pengantar kematian. Musim dingin membuatku sedikit sulit untuk tetap bertahan di Stalingrad. Tidak ada mantel, bahkan syal sekalipun. Berbeda dengan tentara Rusia, mereka sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sudah jadi bagian dari keseharian. Meskipun demikian aku harus egois supaya bisa terus bertahan layaknya herren. Setidak-tidaknya untuk diri sendiri. Aku tidak ingin membayangkan bahwa aku akan mati di sini. Bagaimana dengan natal tahun depan yang sudah di depan mata dan apa paman George jadi membangun toko roti. Beribu tanya tengah menghantam ketika situasi sedang sulit seperti ini. Segala hal-hal sekecil apapun jadi sangat dirindukan. Aku berharap pihak yang ”bertanggung jawab” menepati janjinya dan aku bisa pulang.

Satu per satu korban mulai berjatuhan dari pihak lawan dan juga dari pihak kami. Ah, pertempuran yang tak bisa dielakkan. Semakin sengit. Tiba-tiba saja pandanganku teralihkan oleh suara jeritan Hannes. Ternyata ia cedera berat. Kakinya remuk. Kurasa itu akibat terinjak ranjau. Hannes memang orang yang ceroboh, sesuai dengan yang kukatakan tadi pada Hahnke. Ia terlalu tua untuk memimpin divisi ini. Kemudian ia digotong oleh dua kawan sejawat ke tempat yang aman. Situasi semakin memburuk. Gudang penyimpanan makanan kami dibom. Jumlah tentara susut lagi. “Brengsek!” pikirku. Tetapi aku tidak akan gentar meskipun kenyataannya sia-sia. Semangat dalam senapan inilah satu-satunya harapan. Satu tembakan jadi sangat berarti. Berarti satu peluru harus bisa menumbangkan dua atau tiga orang dari pihak lawan. Meskipun terlihat sedikit konyol tapi aku tidak sedang melucu. Aku hanya berusaha untuk menghibur diri saja.

Aneh. Mendadak pihak Rusia menarik mundur pasukannya. Barangkali keberuntungan sedang berpihak pada kami saat ini. Benar-benar menakjubkan. Aku teringat kata-kata nenek Gloria dahulu. Sekarang sudah tiada. Beliau berkata bahwa dari seribu kegagalan pasti ada satu keajaiban yang membuat hidup jadi berhasil. Hari ini kata-katanya itu terbukti. Tetapi ribuan pertanyaan datang lagi dan menusuk-nusuk kepalaku. Kenapa pihak Rusia menarik mundur pasukannya. Ribuan jawaban pula mengambang dipikiranku. Mungkin mereka kehabisan amunisi. Mungkin juga ada tak-tik lain yang sedang mereka rencanakan sehingga menarik mundur pasukannya, dengan kata lain “mundur selangkah untuk maju dua sampai tiga langkah” Atau..ah, sudahlah. Kurasa dalam situasi seperti ini, mungkin lebih baik begini.

Hahnke sudah mati. Tadi kulihat tubuhnya gosong akibat kobaran api. Terakhir kali dia sempat bicara denganku. Rasanya aku ingin menangis tapi air mataku kering untuk menangisi peristiwa yang sudah biasa terjadi di depan mataku. Tentara yang tersisa sekarang pun tidak lebih beruntung. Aku bisa lihat dari cedera yang mereka alami. Cedera batin apalagi. Kalaulah ada obatnya, itu pastilah kerinduan yang tertahan selama ini. Ketika nyawa hanya tinggal menarik napas terakhir semuanya jadi terbayang kembali. Keluarga yang diidam-idamkan, anak-anak yang lucu-lucu, dan sanak keluarga yang ramah penuh senyuman. Ah, hari-hari yang menakjubkan. Tapi kini hanya tinggal menghitung hari menuju kematian dan tanah pekuburan masal. Mengingat semuanya membikin sakit hati saja. Mengapa tidak dari dulu saja aku lari dari tempat terkutuk ini. Apalagi penyesalan yang kemudian datang bertubi-tubi menghantam keras. Sekeras cadas. Tidak, bahkan lebih keras dari itu.

***

Waktu semakin dekat menuju kepulangan yang dijanjikan. Tiga hari lagi. Tetapi tanda-tanda itu belum juga muncul. Pihak “penguasa” tenang-tenang saja. Mungkin “dia” mengira kami sudah mati atau memang sengaja membiarkan kami seperti ini. Persediaan makanan sudah tidak ada lagi sebab gudang penyimpanan makanan telah dihancurkan ketika perang beberapa waktu lalu. Aku memakan harapan. Ada juga yang makan hati. Seragam lusuh jadi pembalut luka. Senjata di pangkuan hanya jadi rongsokan. Peluru kosong. Mungkin perang tangan kosong saja lagi. Tentara mulai terserang penyakit. Kulit mereka membusuk. Aku merasa sedikit beruntung sebab sebelumnya tidak ada cedera yang fatal tapi keadaanku mulai payah. Untuk berdiri saja sudah tidak sanggup. Apalagi bicara. Ketidakberdayaan. Aku mulai curiga, jangan-jangan mereka ingkar dengan janji yang mereka buat sendiri. “Dia” sengaja mau membunuh kami pelan-pelan rupanya. Kalau bisa, aku lebih memilih diasingkan ke auschwitz daripada mati pelan-pelan di sini. Sekarang tidak ada pilihan. Rusia mungkin juga sudah mengira hal ini akan terjadi. Cukup dengan mengebom gudang penyimpanan makanan saja maka kami akan mati. Ikan dalam akuarium kosong, seperti itulah kami.

Parah. Hittler lebih parah dari Rusia. Asumsiku terhadapnya berubah drastis. Ia tega membiarkan kami seperti ini setelah menjadikan kami mesin-mesin pembunuh yang kejam. Ini diluar dugaan. Nazi. Apa artinya itu. Ini bukan penghormatan lagi namanya tapi penindasan atas manusia yang tidak manusiawi. Ketersiksaan yang terlalu lama. Ingin rasanya aku melakukan harakiri seperti di Jepang. Tapi di sini tidak ada pedang. Pada akhirnya aku jadi tidak punya keberanian untuk mati. Terjerumus dalam kecemasan yang dalam. Juga ketakutan yang teramat.

Malam jadi sepi. Udara dingin menembus disela-sela dinding salah satu sudut bunker tempat persembunyianku dan empat orang tentara yang tersisa. Lainnya mati. Aku ingin sekali bertemu dengan keluarga untuk terakhir kalinya, setidak-tidaknya mengirimi mereka surat dan mengabarkan bahwa aku sudah mati supaya mereka nanti tidak terlalu berharap-harap menunggu kepulanganku. Tapi tak bisa. Sekarang aku diam dan kaku karena beku. Lemah. Tidak ada tenaga. Begitu pula dengan yang lain. Sekarat. Udara dingin tak mau diajak kompromi. Samar-samar kulihat salah satu dari mereka menarik napas panjang lalu diam. Mati. Aku sudah mengira bahwa tempat yang tenang dan santai ini akan jadi kuburanku. Di garis penghabisan ini. Stalingrad. Sudahlah. Tak perlu dipikirkan kalau hanya menambah beban. Sabar. Sebentar lagi giliranku.

Padang, 8 Mei 2007


Catatan:

Cordon Rouge-Minuman beralkohol sebagai penghangat tubuh, sejenis Brandy

Appasionata-Berkenaan dengan komposisi musik dan lagu

Herren(bahasa Jerman)-Ksatria/Pahlawan

Auschwitz-Nama tempat/penjara terluas di Jerman bagi pemberontak, pembangkang, dan musuh yang di tangkap, pada masa kekuasaan Hittler

Harakiri(bahasa jepang)-Tradisi bunuh diri yang ada di Jepang, biasanya berkenaan dengan harga diri

Bunker-Tempat persembunyian yang di anggap teraman dalam situasi perang atau jika terjadi bencana, merupakan sebuah ruangan yamg tertutup rapat