Kamis, 17 Januari 2008

Sajak-sajak Delvi Yandra

Sumber; Padang Ekspres



ibu di pagi raya

adalah rumpun bunga dalam taman ibu

semekar hati raya yang wewarnanya berupa

kupu kumbang berterbangan mencari sudut

mata ibu yang madu, yang manis mengulit ari

sebagaimana matahari kuning masak di pucuk daun

embun menghilang

sementara bersimpuh pagi

anak-anak baru akan sekolah. Di tanah lapang.

alam bebas selalu punya kelakar

yang menarik, cerita untuk ibu

(kudengar petatah petitih nun jauh)

muasal siang dan malam

dan bunyi bansi di pematang

adalah ibu di pagi raya

Kandangpadati, Agustus 2007


ruang kosong

;Untuk Y dan S.R.

Hati adalah kumparan ruang kosong

yang sepi. Aku khidmat mendengar gaung dalammu

kadang kucemas-cemaskan sendiri

sebelum kau benar-benar angin yang berjumpalitan

di kedalaman khusyukku.

Telah kutempatkan hatiku di ronggamu

yang paling sunyi. Agar dapat kau cerna muntahanku

sebagai puisi.

sebagai batu yang selalu diam dalam ngalir sungai

yang betah menunggu dengan jutaan rakaat

Lalu lumut dan sesampah hulu menghampiriku

pelan-pelan.

Kandangpadati, September 2007



misalkan kau sebuah peta buta

Sulit bagiku membaca desir

angin di bibirmu yang pasi. Kubiar rinai basah di punggungmu

hingga membentuk lekuk dan belahan kata. Diam.

Bukitku sepi tanpa mata angin

sempat kehilangan tempat tuju

kecuali bila ada jejak langkahmu

di sepanjang jalanku

menuntunku pulang atau malah bikin aku

kembali hilang arah bahkan tersesat

Dalam ukuran skala berapa

aku dapat membaca segala apa

yang tergambar di petamu

Kandangpadati, 21 September 2007



madah buat sri di malam jahanam

Kini aku menunggumu hingga palung

Suatu ketika yang telah membikin jauh

Lalu kubarkan malam semakin pekat

semakin pedat. Aku mengumpat sendirian

di waktu yang basah genangan air mata

Air mata. Kering di belahan wajahku

mendarah dedah dalam gigil malam

kubaca makna pada pesan pendek lalu

hatiku telah mencair di lembab kulit

Ketika kau menerima pesan pendek

dari seseorang—bukan aku. Kupastikan lengkung senyummu

begitu lepas. Sedangkan aku telah melepas sakit

yang mencucuk-cucuk dalam batinku

Pasar baru, 07 Oktober 2007


sekat

Aku sekarat disekat jaringmu

tarantula tua menghampiri aku

lalu kamu memahaminya sebagai cinta

Pasar baru, Oktober 2007

Jumat, 11 Januari 2008

garis penghabisan; stalingrad

Sumber; Balai Bahasa Padang

Garis Penghabisan; Stalingrad

Cerpen Delvi Yandra

Empat belas hari lagi aku akan dipulangkan. Koln. Kota kecil tempat dahulu aku pernah menikmati hari-hari bersama Caroline. Juga anak-anak, Gertrud dan Claus. Teh buatan istrikulah yang membikin aku jatuh hati padanya. Juga kesetiaannya. Teh itu disuguhkannya di pagi hari yang sedap sambil duduk di teras rumah mungil lalu menyaksikan pekik Gertrud dan beberapa temannya yang belarian di halaman depan rumah hingga salah satu ada yang jatuh tersandung batu. Kemudian menghentikan permainan begitu saja. Bisa aku bayangkan. Tetapi saat-saat seperti itu jadi sebuah penantian yang panjang sebab perang belum surut. Rusia masih gencar menghujani kota-kota paling vital di Jerman dengan granat dan mortir. Aku bersama tentara Jerman terperangkap di Rusia.

Stalingrad. Merupakan daerah yang paling santai yang pernah aku tempati selama perang berkecamuk di Rusia. Betapa tidak, tiap-tiap tempat yang kudatangi selalu tidak ada waktu untuk istirahat. Apalagi menonton televisi. Bunyi letusan amunisi silih berganti terdengar dari jarak dua sampai tiga kilometer. Harus selalu siap siaga. Sedikit berbeda di Stalingrad. Aku bisa mengisi waktu luang dengan menonton televisi bersama perwira divisi di ruang bawah tanah. Kadang-kadang disela-sela tontonan Hannes menyempatkan diri untuk tidur. Aku juga sempat menulis surat untuk istriku dan paman George sebab pada saat itu aku dan yang lain diberi kebebasan menulis surat kepada siapa saja untuk terakhir kalinya. Sudah dua puluh kali sebenarnya aku mengirimi mereka surat dan surat balasan yang aku terima sampai saat ini semuanya hanya berjumlah tujuh belas. Sehari yang lalu kukirim surat yang ke dua puluh satu. Di surat itu aku menulis “apa Claus sudah bisa pergi ke sekolah sendirian, bagaimana Natal di sana?” atau, hal-hal lain yang biasanya kutanyakan langsung. Aku berharap Natal tahun depan bisa berkumpul bersama mereka. Surat yang aku tulis, kukirim lewat truk-truk pengangkut barang menuju Koln. Biasanya truk-truk tersebut berangkat sebulan sekali sehingga aku harus menunggu lama agar surat tersebut sampai di tujuan.

Di barak, jatah makan sudah ditentukan. Antrian jadi terasa berabad-abad. Roti dan selai kacang. Ya, paling-paling cukuplah untuk menahan rasa lapar. Kadang-kadang, kami membuat roti sendiri dari tepung yang masih tersisa di gudang. Sudah hampir tiga bulan aku disini. Persediaan makanan dan amunisi hanya cukup untuk dua minggu lagi. Selepas meroti biasanya para tentara minum cordon rouge. Begitu pula aku. Seteguk berguna juga untuk menghangatkan tubuh di musim dingin. Amunisi yang tersisa pun harus kugunakan semaksimal mungkin. Apalagi jumlah tentara yang semakin menyusut akibat perang. Ada matanya yang hancur, tangannya yang remuk, kakinya yang diamputasi dan ada juga harapannya yang sirna. Sekarang jumlahnya hanya tinggal enam puluh sembilan dari berbagai divisi. Sungguh situasi yang sampah. Aku merasa beruntung sebab hanya kelingking dan jempolku saja yang hancur. Kemudian aku sadar kalau sebenarnya jari-jari itu dapat kugunakan untuk hal-hal yang sepele. Paling tidak sekarang berguna untuk menembak. Ketika situasi gawat, aku terpaksa menembakkan amunisi banyak-banyak supaya tentara Rusia mengira bahwa tentara Jerman masih memiliki persediaan amunisi yang banyak dan dengan begitu mereka akan menarik mundur tentara mereka. Lalu beringsut. Susut.

***

Hari itu. Seorang pembina rohani memberi pandangan tentang perang bahwa yang baik dilakukan sekarang adalah menegakkan sang saka tinggi-tinggi demi Germania Raya dan “Tuhan selalu bersama kita!“ Kata-kata itu selalu diucapkan setiap kali dia akan mengakhiri kotbahnya. Rohanian itu bicara seolah-olah kami telah sampai pada persoalan dimana filsafat berakhir dan agama bermula. Bagaimana bisa dia melucu dalam situasi yang seserius ini. benar-benar konyol. Lalu aku bertanya kepadanya.

“Lantas apa yang berubah karenanya?“

Suasana hening seketika. Para tentara yang mendengar pertanyaanku serempak menunduk seperti sedang kalah perang. Sejenak terasa ada yang hilang. Barangkali harapan. Pembina rohani itu menarik napas panjang. Lalu berkata.

“Mendengar pertanyaanmu itu, aku seperti mendapat tamparan keras. Tahukah kalian sekalian bahwa seorang pembina rohani seperti aku tidak bisa berbuat apa-apa selain ini. Jadi, jalan kita masing-masing sudah ditentukan. Kalian dengan senapan di dada dan aku… ya, seperti inilah. Buatlah sesuka kalian. Aku hanya berharap bahwa apa yang kita hadapi sekarang jangan sampai kelak anak kita tahu bahwa kita adalah ksatria payah yang dikirim hanya untuk menegakkan panji-panji keadilan semata di negara yang selalu meneriakan “Herr…Hittler!” dan bukan demi kepentingan manusiawi. Jangan pula nanti mereka mengalami nasib seperti kita. Ketahuilah, Tuhan selalu bersama kita!”

Kemudian pembina rohani itu berlalu dari hadapan kami sembari menahan isak tangis. Aku sempat melihat air mata yang terpaksa jatuh di pipi keriputnya. Kurasa dia juga sama seperti kami. Juga merindukan keluarga dan segenap perdamaian. Tapi apalah yang bisa dilakukan oleh perwira yang lemah seperti aku dengan kegiatan yang tak pernah akan usai dan tanpa hasil ini. Sebenarnya aku tidak pernah punya jiwa tentara. Hikmah apa yang kudapat dari peristiwa seperti ini. Ternyata benar bahwa hal-hal kecil maupun hal-hal besar adalah sama saja. Aku yakin, kalau nanti Stalingrad jatuh ke tangan musuh maka orang-orang akan membaca beritanya di koran-koran dan aku tidak akan pernah bisa pulang. Begitu pula dengan kawan-kawanku di sini.

***

Hari ini, suasana tetap tenang-tenang saja. Para tentara mulai ogah-ogahan. Belum terlihat tanda-tanda akan datang serangan dari pihak Rusia. Padahal baru beberapa bulan yang lalu Stalingrad diserang. Kupandangi kalender di atas meja salah satu pos penjaga, 4 Januari, 1932. Sekilas teringat kembali olehku empat tahun yang lalu di tanggal, bulan, dan tahun yang sama. Ketika itu aku memainkan appasionata pada sebuah grand piano di suatu jalan kecil dekat lapangan merah. Suatu peristiwa yang langka. Piano besar tersebut persis terletak di tengah jalan. Kemudian mendadak rumah di tempat itu diledakkan oleh tentara Rusia yang menyerang secara membabi buta. Dan piano itu tidak sempat diungsikan sebab penduduk sudah lari kocar-kacir menyelamatkan diri. Piano itu ikut terbakar. Sekarang sisa-sisanya membekas dalam ingatan.

Ah, tiba-tiba lamunanku dibuyarkan oleh suara Beethoven disusul ledakan granat dari pos depan. Para tentara lari berhamburan dan bersiaga di posisi masing-masing. Aku tidak menyangka akan datang serangan dalam situasi sesantai ini. Gawat! Ternyata tentara Rusia sudah mengepung Stalingrad. Kami terjebak. Kurt Hahnke, si pendek yang sigap. Melompat lalu menyudut di garis depan. Aku juga harus segera bersiap-siaga. Dengan seragam lengkap sambil merayap di atas tanah basah kususul dia. Dan bertanya.

“Siapa yang memimpin? “

“Hannes…“

“Ah, dia kan sudah terlalu tua untuk itu! atas perintah siapa?”

“Hittler!“

“Dia?“

“Ya!“

“Sial! Dia harus membayar untuk semua ini! “

Hahnke menatapku tajam dan berkata, ”hei, bukankah kau ada di sini atas kehendakmu sendiri bahkan kurasa sanak keluarga dengan bangga melepas kepergianmu ke medan pertempuran ini?“

“Goblok! apa kau tidak pernah berpikir bahwa semua ini sia-sia, sekarang aku baru sadar kalau kita hanya mendapat peran pelengkap penderita saja di negara yang penuh dengan kepura-puraan ini” jawabku tegas.

“He! kenapa kau jadi perasa begini, jadi kita harus bagaimana sekarang? Sudahlah, pegang saja senjatamu itu erat-erat kalau tidak mau mati konyol”

Hahnke mengacuhkanku lalu merayap ke depan dekat Hannes. Suara-suara dentuman terdengar seperti komposisi musik pengantar kematian. Musim dingin membuatku sedikit sulit untuk tetap bertahan di Stalingrad. Tidak ada mantel, bahkan syal sekalipun. Berbeda dengan tentara Rusia, mereka sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Sudah jadi bagian dari keseharian. Meskipun demikian aku harus egois supaya bisa terus bertahan layaknya herren. Setidak-tidaknya untuk diri sendiri. Aku tidak ingin membayangkan bahwa aku akan mati di sini. Bagaimana dengan natal tahun depan yang sudah di depan mata dan apa paman George jadi membangun toko roti. Beribu tanya tengah menghantam ketika situasi sedang sulit seperti ini. Segala hal-hal sekecil apapun jadi sangat dirindukan. Aku berharap pihak yang ”bertanggung jawab” menepati janjinya dan aku bisa pulang.

Satu per satu korban mulai berjatuhan dari pihak lawan dan juga dari pihak kami. Ah, pertempuran yang tak bisa dielakkan. Semakin sengit. Tiba-tiba saja pandanganku teralihkan oleh suara jeritan Hannes. Ternyata ia cedera berat. Kakinya remuk. Kurasa itu akibat terinjak ranjau. Hannes memang orang yang ceroboh, sesuai dengan yang kukatakan tadi pada Hahnke. Ia terlalu tua untuk memimpin divisi ini. Kemudian ia digotong oleh dua kawan sejawat ke tempat yang aman. Situasi semakin memburuk. Gudang penyimpanan makanan kami dibom. Jumlah tentara susut lagi. “Brengsek!” pikirku. Tetapi aku tidak akan gentar meskipun kenyataannya sia-sia. Semangat dalam senapan inilah satu-satunya harapan. Satu tembakan jadi sangat berarti. Berarti satu peluru harus bisa menumbangkan dua atau tiga orang dari pihak lawan. Meskipun terlihat sedikit konyol tapi aku tidak sedang melucu. Aku hanya berusaha untuk menghibur diri saja.

Aneh. Mendadak pihak Rusia menarik mundur pasukannya. Barangkali keberuntungan sedang berpihak pada kami saat ini. Benar-benar menakjubkan. Aku teringat kata-kata nenek Gloria dahulu. Sekarang sudah tiada. Beliau berkata bahwa dari seribu kegagalan pasti ada satu keajaiban yang membuat hidup jadi berhasil. Hari ini kata-katanya itu terbukti. Tetapi ribuan pertanyaan datang lagi dan menusuk-nusuk kepalaku. Kenapa pihak Rusia menarik mundur pasukannya. Ribuan jawaban pula mengambang dipikiranku. Mungkin mereka kehabisan amunisi. Mungkin juga ada tak-tik lain yang sedang mereka rencanakan sehingga menarik mundur pasukannya, dengan kata lain “mundur selangkah untuk maju dua sampai tiga langkah” Atau..ah, sudahlah. Kurasa dalam situasi seperti ini, mungkin lebih baik begini.

Hahnke sudah mati. Tadi kulihat tubuhnya gosong akibat kobaran api. Terakhir kali dia sempat bicara denganku. Rasanya aku ingin menangis tapi air mataku kering untuk menangisi peristiwa yang sudah biasa terjadi di depan mataku. Tentara yang tersisa sekarang pun tidak lebih beruntung. Aku bisa lihat dari cedera yang mereka alami. Cedera batin apalagi. Kalaulah ada obatnya, itu pastilah kerinduan yang tertahan selama ini. Ketika nyawa hanya tinggal menarik napas terakhir semuanya jadi terbayang kembali. Keluarga yang diidam-idamkan, anak-anak yang lucu-lucu, dan sanak keluarga yang ramah penuh senyuman. Ah, hari-hari yang menakjubkan. Tapi kini hanya tinggal menghitung hari menuju kematian dan tanah pekuburan masal. Mengingat semuanya membikin sakit hati saja. Mengapa tidak dari dulu saja aku lari dari tempat terkutuk ini. Apalagi penyesalan yang kemudian datang bertubi-tubi menghantam keras. Sekeras cadas. Tidak, bahkan lebih keras dari itu.

***

Waktu semakin dekat menuju kepulangan yang dijanjikan. Tiga hari lagi. Tetapi tanda-tanda itu belum juga muncul. Pihak “penguasa” tenang-tenang saja. Mungkin “dia” mengira kami sudah mati atau memang sengaja membiarkan kami seperti ini. Persediaan makanan sudah tidak ada lagi sebab gudang penyimpanan makanan telah dihancurkan ketika perang beberapa waktu lalu. Aku memakan harapan. Ada juga yang makan hati. Seragam lusuh jadi pembalut luka. Senjata di pangkuan hanya jadi rongsokan. Peluru kosong. Mungkin perang tangan kosong saja lagi. Tentara mulai terserang penyakit. Kulit mereka membusuk. Aku merasa sedikit beruntung sebab sebelumnya tidak ada cedera yang fatal tapi keadaanku mulai payah. Untuk berdiri saja sudah tidak sanggup. Apalagi bicara. Ketidakberdayaan. Aku mulai curiga, jangan-jangan mereka ingkar dengan janji yang mereka buat sendiri. “Dia” sengaja mau membunuh kami pelan-pelan rupanya. Kalau bisa, aku lebih memilih diasingkan ke auschwitz daripada mati pelan-pelan di sini. Sekarang tidak ada pilihan. Rusia mungkin juga sudah mengira hal ini akan terjadi. Cukup dengan mengebom gudang penyimpanan makanan saja maka kami akan mati. Ikan dalam akuarium kosong, seperti itulah kami.

Parah. Hittler lebih parah dari Rusia. Asumsiku terhadapnya berubah drastis. Ia tega membiarkan kami seperti ini setelah menjadikan kami mesin-mesin pembunuh yang kejam. Ini diluar dugaan. Nazi. Apa artinya itu. Ini bukan penghormatan lagi namanya tapi penindasan atas manusia yang tidak manusiawi. Ketersiksaan yang terlalu lama. Ingin rasanya aku melakukan harakiri seperti di Jepang. Tapi di sini tidak ada pedang. Pada akhirnya aku jadi tidak punya keberanian untuk mati. Terjerumus dalam kecemasan yang dalam. Juga ketakutan yang teramat.

Malam jadi sepi. Udara dingin menembus disela-sela dinding salah satu sudut bunker tempat persembunyianku dan empat orang tentara yang tersisa. Lainnya mati. Aku ingin sekali bertemu dengan keluarga untuk terakhir kalinya, setidak-tidaknya mengirimi mereka surat dan mengabarkan bahwa aku sudah mati supaya mereka nanti tidak terlalu berharap-harap menunggu kepulanganku. Tapi tak bisa. Sekarang aku diam dan kaku karena beku. Lemah. Tidak ada tenaga. Begitu pula dengan yang lain. Sekarat. Udara dingin tak mau diajak kompromi. Samar-samar kulihat salah satu dari mereka menarik napas panjang lalu diam. Mati. Aku sudah mengira bahwa tempat yang tenang dan santai ini akan jadi kuburanku. Di garis penghabisan ini. Stalingrad. Sudahlah. Tak perlu dipikirkan kalau hanya menambah beban. Sabar. Sebentar lagi giliranku.

Padang, 8 Mei 2007


Catatan:

Cordon Rouge-Minuman beralkohol sebagai penghangat tubuh, sejenis Brandy

Appasionata-Berkenaan dengan komposisi musik dan lagu

Herren(bahasa Jerman)-Ksatria/Pahlawan

Auschwitz-Nama tempat/penjara terluas di Jerman bagi pemberontak, pembangkang, dan musuh yang di tangkap, pada masa kekuasaan Hittler

Harakiri(bahasa jepang)-Tradisi bunuh diri yang ada di Jepang, biasanya berkenaan dengan harga diri

Bunker-Tempat persembunyian yang di anggap teraman dalam situasi perang atau jika terjadi bencana, merupakan sebuah ruangan yamg tertutup rapat