Sabtu, 16 Februari 2008

Masjid Merah

Masjid Merah
Cerpen Delvi Yandra

Tidak ada yang tahu pasti, mengapa anak-anakku bisa berada di dalam Masjid Merah sedangkan yang lain sudah banyak yang pulang sebelum peristiwa na’as itu terjadi. Tapi yang pasti mereka sedang dalam situasi gawat. Kegelisahan menyergap dalam kepalaku dan upaya apapun harus kutempuh. Aku harus menyelamatkannya. Bagaimana pun caranya, aku akan melakukan sesuatu.

Apa yang dapat menghalangiku untuk menjemput Akmal dan Uswah yang baru akan pulang dari mengaji di Masjid Merah. Sekalipun tidak, apalagi dari serangan tentara Pakistan yang sedang bersitegang dengan pendukung Ulama Abdul Rashid Ghazi.

Peluru-peluru panas menembus ke kedalaman tanah dan dinding masjid. Teriakan-teriakan histeris warga sekitar melengking ketika sebuah bom rakitan milik pendukung Ulama meledak pada salah satu mobil pick-up yang berada di parkiran halaman Masjid Merah. Seorang pria paruh baya yang mengenakan jas tergeletak tak berdaya di salah satu sudut jalan. Peristiwa itu menandakan adanya ekstremisme dan terorisme yang belum terkikis dan mereka kukuh memerangi setiap penyimpangan moral dari sudut wilayah Pakistan. Apakah juga termasuk anak-anak yang sedang berada di dalam masjid? Aku tidak habis pikir. Entah apa yang bersarang di dalam kepala mereka. Barangkali terlalu banyak benturan yang menghantam mereka. Kediktatoran militer, radikalisme, fundamentalisme, disusul dengan ekstremisme dan terorisme. Barangkali begitu cara mereka menegakan hukum syariah. Aku ini hanya seorang sipil! Lantas apa yang membuat mereka kelak dengan rela melepas nyawa anak-anak yang sedang terjebak di dalam sebuah Masjid dimana di sekelilingnya sekelompok orang sedang bertikai. Pemikiran yang di luar batas pemikiran seorang ayah sepertiku. Aku hanya tidak ingin tahu banyak tentang apa yang sedang mereka perjuangkan. Aku hanya ingin anak-anakku lepas bebas dan keluar dengan selamat dari dalam sana.

Mendadak aku dihadapkan pada kematian yang sudah pasti ada di depanku. Ketika aku mulai berani berlari di antara berondongan peluru dan bom dan masuk ke dalam masjid, di saat itu pulalah aku mulai dapat merasakan kegentingan hidup dan pintu kematian yang jaraknya tidak lebih dari satu senti meter.

Samar-samar aku dapat mendengar suara anak-anakku dari dalam Masjid Merah yang sedang membutuhkanku, sepertinya mereka sedang disandera.

“Kami tidak menyandera anak-anak ini, mereka sendiri yang menginginkannya. Mereka dengan senang hati menawarkan diri untuk tetap berada di dalam. Bahkan mereka juga mengatakan kalau mereka akan ikut berjuang bersama kami. Kami tidak memaksa mereka. Kalian boleh tanyakan itu pada mereka. Eh, maksudku kalian bisa membuktikannya.” Salah satu dari mereka yang sedang berada di sudut Masjid berkata demikian. Sungguh tak ada yang mengira bahwa pendukung Ulama akan mengatakan hal demikian. Dan mereka¾warga yang sedang menyaksikan peristiwa itu¾ percaya dengan pernyataan yang disampaikan melalui jendela Masjid. Tapi bukan itu yang diharapkan oleh kelompok-kelompok ini. Juga aku. Apalagi anak-anakku yang katanya bersikukuh berdiam di dalam Masjid. Tapi keadaan memaksa. Di sebelah timur dekat tanah lapang, beberapa ambulan milik pemerintah telah dipersiapkan untuk mengangkut korban dari kedua belah pihak. Dilengkapi dengan tempat tidur dorong, botol infus dan beberapa kantong darah.

Kususuri jalan-jalan kecil dan beraspal dekat sudut kompleks di Lahore menuju belakang Masjid Merah. Mencari celah untuk masuk ke dalam. Tapi yang menghalangi adalah pagar-pagar besi dan kawat berduri yang sengaja telah dipasang oleh pendukung Ulama agar tak ada yang dapat masuk. Aku coba memastikan kalau mereka sedang tidak mengawasiku. Tiba-tiba terdengar suara tembakan senapan dari arah Masjid Merah disusul kemudian sebuah peluru menembus batang kayu yang berdiri kokoh tepat di sampingku. Seketika itu pula, kulit pohon yang ulet, pecah dan berkecai. Ah, aku ketahuan.

Tak ada cara lain lagi. Aku harus segera pergi dari sini, menghubungi polisi dan pemerintah. Ketika kuadukan, tak ada yang peduli bahkan pemerintah sekalipun. Aku hanya dapat membayangkan Musharraf yang sedang berkhotbah di depan ribuan warga Pakistan seraya menyerukan kalimat-kalimat perdamaian.

“Oh Tuhan! Tolong selamatkan anak-anak saya.” Tidak ada yang mendengar keluhanku di tengah kerumunan warga yang berada tidak jauh dari masjid merah. Mereka hanya menyerukan hal serupa, yang disampaikan oleh pendukung Ulama. Bahkan mereka tidak segan-segan membunuh seorang imigran China yang diduga menjalankan prostitusi di Islamabad. Walaupun ia mengaku tidak bersalah, tapi ujung pistol tetap saja mampir di jidatnya yang hanya berjarak beberapa senti meter.

Dilematis. Itu yang dapat aku rasakan. Seharusnya pertikaian ini tidak harus terjadi. Ah, peduli apa aku dengan semua itu. Anak-anakku dalam bahaya. Setahun yang lalu kuhantar mereka untuk belajar di Masjid itu tapi entah pelajaran apa yang mereka dapat di sana hingga salah seorang dari mereka mengatakan bahwa anak-anakku dengan rela diri untuk tetap memilih bertahan di dalam Masjid Merah. Suatu ketika pernah kutanyakan satu hal kepada mereka bahwa apa yang kelak akan kalian lakukan setelah ini, setelah semua terlihat sama dan tak ada pembeda. Ternyata pilihan ini adalah jawaban dari pertanyaan yang kuutarakan beberapa tahun lalu. Jawaban ini yang akan mereka pertahankan dan perjuangkan dalam barisan pendukung Ulama. Tapi tetap secara naluri aku tidak ingin anak-anakku terjebak ke dalam lubang yang lebih dalam, yang membawa mereka ke dasar yang tak berpenghujung. Aku ayahnya, dan akan tetap begitu sampai aku dapat menyelamatkan mereka dari lubang itu. Hanya saja aku harus lebih jeli dalam memilih, lubang mana yang akan membawaku kepada mereka. Pertikaian semakin memuncak.

Darah demi kekuasaan. Demikian mereka menjuluki serangan itu. Bagaimana Masjid yang seharusnya merupakan tempat beribadah dapat menjadi sarana baku tembak. Barangkali satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini adalah mukjizat dari Tuhan. Mengapa permasalahan in tidak dibicarakan baik-baik dengan pihak pemerintah atau mungkin sudah tidak ada lagi tempat berdiskusi yang baik, yang akan memperjuangkan syariah islam di Pakistan.

Pilihannya adalah Musharraf harus mundur. Begitu mereka memutuskan setiap kali diskusi mulai mencapai puncak ketegangan yang kemudian mereda dengan baku hantam. Delapan tahun pemerintahannya telah menumbuhkan radikalisme dalam hati rakyat. Tapi bagiku, ini merupakan persoalan internasional. Sampai saat ini pun kurasa belum ada pemecahan yang berarti.

Ah, sedang apa aku ini. Kembali kepada tujuan awal, yang harus segera kulakukan adalah menyelinap ke dalam Masjid Merah dengan caraku sendiri. Aku tidak ingin anak-anakku mati konyol. Biar aku saja yang melakukannya sebab tidak ada yang dapat dimintai pertolongan dalam kondisi seperti ini.

***

Wahai istriku, sesungguhnya benar apa yang pernah kau katakan kepadaku ketika aku menghantarmu ke klinik Gamal Sechan untuk melakukan persalinan anak kedua kita, Uswah. Kau bilang; jika kelak anak yang kulahirkan mendustai agama dan Tuhan maka luruskan ia dengan pengorbanan dan keikhlasan, aku yakin akan terang jalan pikirannya dan setelah kita berbuat sesuatu yang berarti kelak ia akan membalasnya dengan tanpa kita duga-duga, begitu pula dengan Akmal.

Aku masih ingat kata-kata yang membikin perasaanku bertambah padamu sampai ketika kau menghembuskan nafas terakhir di kamar persalinan itu. Dan sekarang ingatan itu kembali padaku dan membikin aku dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menyakitkan. Tahukah kau, bahwa anak-anak kita telah memilih jalan ini. Aku tidak mengerti apakah jalan ini jalan yang terang seperti yang pernah kau katakan atau hanya pelampiasan atas ketidakpuasan mereka terhadap ajaran kita dan Tuhan. Tapi aku ini masih punya rasa, masih punya cinta, bahwa mereka tetaplah anak-anak kita. Mereka harus kembali pada kita sebab aku yakin Tuhan sedang menguji kita. Dan sempat aku berpikir setelah mendoakanmu di pemakaman bahwa akan ada tempat yang lebih baik setelah ini. Itu yang membikin aku berani hidup dan sanggup menghadapi resiko-resiko yang belum ada apa-apanya ini.

Lamunanku buyar setelah mendengar sorak sorai dari warga Islamabad yang dengan semangat meneriakan panji-panji kebenaran dan ayat-ayat suci Tuhan di depan Masjid Merah. Aku tenggelam di antara kerumunan mereka yang penuh peluh dan keyakinan. Semangat mereka masuk ke dalam tubuh dan bangkit sesosok Fazil di dadaku. Fazil yang kau cintai ini, istriku.

“Pinjamkan kayu itu padaku.” Kataku di sela-sela teriakan mereka. Aku berlari ke arah masjid merah setelah salah seorang dari mereka memberikan sebatang kayu pengikat bendera dengan pandangan penuh keyakinan padaku.

“Ambil dia, anak-anakmu.” Di antara berondongan peluru yang datang dari balik tembok dan jendela Masjid Merah, aku mendengar sesuara seperti kokangan senapan rakitan dan aroma bubuk mesiu yang semakin aku mendekat semakin menyengat aromanya. Bisikan demi bisikan yang mengatakan “darah demi kekuasaan” terdengar jelas dan mencubit telingaku pelan-pelan. Kadang-kadang mereka yang berdiam di punggungku mendukung dan mencegah apa yang sedang kulakukan. Mereka belum mengerti bahwa bagiku anak-anak adalah harta kekayaan yang tak ada pembandingnya di dalam sebuah keluarga. Apa mereka belum pernah mendapatkan harta kekayaan itu atau mereka tidak akan dapat memahami tentang betapa berartinya seorang anak di dunia sedangkan aku punya dua, pikirku. Inilah alasanku untuk terus maju dan berani mengambil resiko-resiko yang sulit dan penuh dengan pilihan yang dapat menjerumuskan hati dan pikiran rasional.

Walau bagaimanapun, aku tetaplah manusia. Keragu-raguan mulai hinggap dan bersarang dalam diri. Ketakutan berdiam di kelembagaan hati. Bila aku ingin, masih sempat untuk berbalik arah sebelum berondongan peluru menembus tubuh dan membikin ngalir darahku.

Tiba-tiba pandanganku menembus jendela Masjid Merah dan aku dapat dengan jelas melihat Akmal. Matanya berair. Sebelum ia berani berteriak, seorang pendukung Ulama membungkam mulutnya. Mereka telah berbohong. Anak-anakku tidak menawarkan diri untuk tetap berdiam di dalam dan itu bukan keinginan mereka. Semakin besar keinginanku untuk menyelamatkan mereka. Anak-anakku.

Keinginanku terbang setelah sebuah peluru menembus paha kiriku. Kuseretkan langkah yang hampir mencapai dinding masjid merah yang cukup jauh dari jangkauan pendukung Ulama. Kupecahkan kaca jendela dengan sebatang kayu yang kubawa dan aku masuk ke dalamnya. Semakin aku mencapai anak-anakku semakin banyak lubang di tubuhku dan darah mengalir dengan hebatnya.

Terakhir yang kuingat adalah hangatnya pelukan Akmal dan Uswah yang seolah ingin membalut tubuhku dari luka dan suara-suara polisi Islamabad yang samar-samar mengatakan “tangan di kepala! Buang senjata kalian!”

Mereka telah tertangkap.

Kelak kegembiraan akan kembali. Dan istriku, kata-katamu telah kubuktikan di dalam Masjid Merah ini walaupun dalam memperjuangkannya butuh darah. Maafkan aku yang tak mengunjungimu beberapa bulan ini. Aku terlalu sibuk dengan domba-domba itu. Tapi jangan khawatir, dalam waktu dekat kami bertiga akan datang dan berdoa untukmu. Dan kami juga akan membersihkan kuburanmu dan menyiramnya dengan air suci.

Kandangpadati, 1 Agustus 2007

*Di ilhami dari peristiwa pertikaian antara pendukung Ulama Abdul Rashid Ghazi dan tentara Pakistan di Masjid Merah, Pakistan pada tanggal 10 Juli 2007

Di Perhentian Bis

Di Perhentian Bis
Cerpen Delvi Yandra


Di sepanjang trotoar, aku melangkah gontai dengan map yang selalu kubawa ke pintu-pintu perusahaan. Tak satu pintu pun pernah membentuk wajahku jadi lebih baik serupa lengkung senyum dan sipit mata yang menyabit di antara orang kebanyakan. Penawaranku selalu ditolak sebab alasan yang tidak jelas. Tidak sesuai dengan perkiraanku padahal aku berjanji akan jadi pekerja yang baik kalau perusahaan berkenan menerimaku. Tapi kenyataannya, tak satu perusahaan pun berbaik hati padaku. Tak satu pun.

Seorang tua dengan tiba-tiba menepuk pundakku. Ketika itu aku tengah tertidur pada sebuah bangku di salah satu tempat perhentian bis. Mata yang memerah dan berurat-urat. Tampak garis-garis keriput di dahi dan beberapa di pipi. Bibirku memucat dan pecah-pecah serupa lahan tandus. Seketika itu pula aku terjaga sebab seorang tua tak kukenal membuyarkan mimpi yang benar-benar kuharapkan akan menjadi suatu kenyataan. Setidak-tidaknya mimpi itu dapat menghiburku setelah letih seharian melamar kerja. Ke perusahaan. Pintu-pintu kantor yang dapat memberi cahaya terang bagi masa depanku, Sri dan si buah hati yang masih berusia tiga bulan berdiam di dalam perut istriku. Sri.

“Maaf nak, ini bis yang terakhir. Apa anak tidak akan naik?” Orang tua itu bertanya seolah-olah ia adalah seseorang yang akan membunuhku dengan tatapan tajamnya. Menyelinap halimun ke dalam pori-pori dan menikam jantungku. Tapi ia memulainya dengan cukup sopan.

“Oh, Eh iya. Bapak bilang apa tadi?” Aku terkesiap dan mempersiapkan diri untuk beranjak dan menjauh dari orang tua itu. Tindakan yang kulakukan dengan tidak sengaja.

“Maksudku, apa anak tidak akan naik bis ini sebab tidak ada bis lain yang akan lewat jalan ini, lagipula hari sudah senja. Sebenarnya anak mau kemana? Dan kenapa bisa sampai tertidur di sini?” Pertanyaan orang tua itu mulai menjurus ke hal-hal yang tak perlu ia tanyakan. Aku mulai mencurigai orang tua yang entah dari mana datang menanyakan sesuatu yang bukan kepentingannya.

“Saya tidak sedang mau kemana-mana, saya hanya kelelahan saja jadi bapak silakan duluan. Saya tidak apa-apa.” Aku langsung menangkis pertanyaan yang dilontarkan orang tua itu agar ia cepat-cepat pergi dari hadapanku. Orang tua itu malah tersenyum simpul sambil membetulkan letak kancing kemeja kusamnya.

“Nama bapak Rustam, bapak sedang senggang hari ini dan bapak juga tidak akan kemana-mana jadi apa anak merasa tidak keberatan kalau bapak temani disini? Sepertinya anak sedang kesusahan, terlihat dari air muka anak.” Ia menerka seperti ia seorang peramal. Aku semakin menjadi-jadi dengan kecemasanku akan kehadirannya. Kutinggalkan orang tua itu dengan mencoba menaiki bis, tapi bis itu telah berlalu dan menjauh dari pandanganku menuju tikungan lalu menghilang.

“Anak tidak usah takut, bapak bukan orang jahat. Bapak hanya ingin membantu kesusahan anak saja. Tidak lebih.” Orang tua itu mulai sedikit-sedikit memberi penjelasan sambil mengajak aku untuk duduk kembali. Matanya itu tidak lagi tajam serupa tadi bahkan terlihat seperti sebuah pancaran cahaya yang sejuk apabila ditatap mata lawan bicara. Kubayangkan serupa tatapan kasih sayang orang tua terhadap anaknya yang telah lama berpisah akhirnya bertemu kembali.

***

Senja menuju tampuknya di susul malam yang memberi pekat cahaya pada bulan dilingkup halimun. Padahal suasana kota masih ramai seperti biasa, baru sekitar jam tujuh dan kendaraan masih banyak yang berlalu lalang. Tapi, entah mengapa suasana di perhentian bis ini seolah-olah mencekam. Seperti ada kesepian yang benar-benar hampa berselimut di sini. Orang tua itu memaku tubuhnya dilingkup bangku. Mulutnya mengeluarkan asap setelah menghisap segulung nipah yang ia keluarkan dari balik kemeja kusamnya. Orang tua itu mengundang misteri. Walaupun sebelumnya ia telah memberi penjelasan. Tapi belum sedikit pun ia menjelaskan siapa ia sebenarnya.

Keluarlah kata-kata dari mulutnya yang berasap nipah. Sebenarnya aku ingin muntah ketika ia berkata-kata. Jujur kukatakan bahwa mulutnya itu berbau busuk. Tapi kuurungkan sebab khawatir kalau hal itu kulakukan tentu akan menyakiti perasaannya apalagi ia hanya seorang tua. Tangannya yang keriput dan penuh tonjolan-tonjolan, gemetar dan bergeletuk di pangkal pahaku kemudian menatapku dari bawah sampai ke atas dengan matanya yang kuyu.

“Anak berasal dari mana? Sudah berapa lama bapak di sini tapi belum sekali pun bapak pernah melihat anak. Hari ini baru yang pertama.” Sebuah pertanyaan meluncur dari mulut orang tua itu.

“Ah, bukan. Saya bukan dari daerah sini. Saya hanya kebetulan lewat dan mau pulang tapi bapak lihat sendiri tadi kalau saya sudah ketinggalan bis.” Aku mulai membuka diri walaupun tidak akan kukatakan semuanya. Aku hanya tidak ingin orang tua ini terlalu jauh masuk ke kehidupanku. Lagi pula untuk apa ia mengetahui urusanku.

“Oh, jadi anak akan menginap di sini? Bagaimana kalau di rumah bapak saja?” Penawaran yang menguntungkan bagiku. Tapi tidak. Aku tidak akan ke rumahnya. Tidak akan masuk ke dalam kamarnya. Apalagi berbaring di tempat tidurnya. Aku jadi curiga. Bukannya aku ingin bermaksud yang tidak-tidak tapi ini benar-benar aneh. Baru kenal sebentar ini ia sudah begitu baik padaku. Bahkan aku belum menyebut namaku.

“Ah, tidak usah. Saya tidak apa-apa. Di sini juga tidak apa-apa. Lagi pula saya tidak akan lama di sini.” Ku tolak tawarannya mentah-mentah. keningnya mulai mengerut dan bentuk matanya aneh seperti mencurigaiku.

“Tidak baik kalau anak tetap tinggal di sini sebab sepengetahuan bapak setiap malam di sini selalu ada kejadian aneh yang membuat orang-orang sekitar tidak ada yang berani lewat di sini apalagi kalau sudah lewat tengah malam.” Orang tua ini mulai tidak keruan bicaranya. Seolah-olah ia ingin memaksa aku untuk menginap di rumahnya dengan mengarang cerita-cerita aneh.

“Ah, bapak ada-ada saja. Mana mungkin ada kejadian aneh di tempat seperti ini.” Kucoba menghibur diri. Tapi tidak dapat kusangkal kalau tempat ini memang terasa ganjil; pohon-pohon besar berjejer di belakang jalan dan semerawut, sebuah gubuk kosong dan tidak terawat seperti dibiarkan saja oleh pemerintah untuk tidak di gusur berdiri di tepi jalan. Semuanya seolah-olah membangun kesan mistis yang rahasianya tak pernah terungkap. Ya Tuhan! Apa yang sedang kupikirkan. Mana mungkin di zaman yang serba instan dan modern ini ada kejadian aneh. Orang-orang tidak akan ada lagi yang percaya dengan hal-hal yang begituan malah mereka akan menertawakannya. Orang tua ini mencoba mengelabuiku dengan cara-cara klasiknya. Sekiranya aku ini anak kecil yang dengan mudahnya di bujuk hanya dengan sebungkus permen. Tidak. Aku tidak akan tertipu.

“Terserah kalau anak tidak mau percaya. Bapak juga tidak akan memaksa. Anak tetap tinggal di sini itu juga urusan anak. Bapak tidak akan ikut campur. Tapi jangan salahkan bapak kalau terjadi apa-apa pada anak nantinya sebab anak sudah bapak beritahu.” Seperti sebuah ancaman keluar dari mulut orang tua itu. Aku tidak akan bergeming. Lagi pula apa hubungannya aku dengan orang tua itu yang tiba-tiba saja entah dari mana datang dan mengancamku. Sekiranya aku takut. Tidak.

“Saya tidak habis pikir, kenapa bapak begitu peduli pada saya padahal saya tidak berbuat sesuatu untuk bapak? Apa yang bapak inginkan dari saya?” Aku mulai marah. Naik darah. Orang tua itu sengaja membuat aku kesal sedemikian rupa agar aku ikut dengannya atau pergi dari sini.

“Nak, bukan maksud bapak untuk...”

“Ah, lebih baik bapak tidak usah ikut campur urusan saya. Saya mau ini saya mau itu, itu urusan saya jadi tolong bapak jangan ganggu saya.” Marahku sudah tidak tertahan lagi melihat tingkah orang tua itu. Ia gelagapan.

“Euh anu, baik. Bapak akan pergi. Tapi jangan salahkan bapak kalau...”

“Saya bilang pergi! Jangan ganggu saya!”

“Baik. Baik bapak pergi.” Kemudian orang tua itu berlalu dari hadapanku. Aku tidak melepaskan pandanganku sampai ia menghilang di tikungan. Orang tua yang menjengkelkan. Kutarik napas panjang pertanda bahwa aku lega sebab ia pergi dari hadapanku. Dari pikiranku.

***

Malam semakin menuju puncaknya di balik pucuk pohon beringin. Mataku tak mau terpejam sebab masih teringat perkataan orang tua tadi. Seketika itu pula bulu remangku berdiri. Hawa dingin berkelebat di tubuhku. Kusapu pandangan ke segala penjuru. Memang benar tempat ini ganjil; gubuk usang dan pohon-pohon besar yang semerawut. Bulan penuh memancarkan cahaya terang seperti membentuk raut wajah seseorang di dalam lingkarannya. Aku jadi teringat kampung. Teringat Sri. Sedang apa ia sekarang? Sudah tidurkah ia? Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya. Tapi aku terjebak di sini. Di perhentian bis.

Pandanganku kembali tertumbuk pada gubuk usang tadi. Menurutku tempat itu yang paling aneh di sini. Aku jadi penasaran dengannya. Lamat-lamat kudekati juga gubuk itu. Beratap rumbia dan lantai beranda yang hanya terbentuk dari tanah sedikit menonjol ke atas. Sebuah kursi dari bambu yang terletak di teras mulai kusam bentuknya. Warnanya pun mulai pudar. Jendelanya pun dibiarkan terbuka dan laba-laba membuat sarang di situ. Gubuk itu seperti sudah lama di tinggalkan pemiliknya. Kubuka pintu muka. Ternyata tidak terkunci. Terdengar suara pintu itu berderik ketika di buka. Udara pengap berseliweran dari dalam, di tambah lagi cahaya bulan yang masuk di sela-sela atapnya menciptakan suasana yang mengerikan. Baru selangkah kakiku menginjak isi gubuk itu terciumlah bau busuk yang menyengat. Tapi mataku tertumbuk pada sebingkai gambar kusam yang tergantung di dinding. Kulekatkan pandangan dalam-dalam ke gambar itu. Seekor kucing. Matanya seolah-olah terus memperhatikan aku. Anehnya, mengapa ada gambar seekor kucing di gubuk ini? Apa pemiliknya pecinta hewan? Trang! Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang. Seperti suara peralatan dapur yang saling beradu satu sama lain. Keras sekali. Aku terkejut. Langsung kualihkan pandangan ke belakang. Dengan hati-hati aku mulai melangkah pelan-pelan ke arah suara itu. Tapi suara itu tidak terdengar lagi. Menjadi hening kembali. Aku harus waspada. Jangan-jangan ada seseorang di gubuk ini. Pelan-pelan kulangkahkan kaki sambil meraba-raba ke depan dan ke samping. Bau busuk tadi lebih menyengat dari ketika pertama aku masuk. Aku mulai mengambil kesimpulan bahwa ada sesuatu yang sengaja disembunyikan di dalam gubuk ini. Kuncinya adalah bau busuk ini. Seperti bau manusia. Ah, barangkali hanya asumsiku saja. Tapi entah dari mana bau ini berasal. Gubuk ini terlalu kecil untuk menyembunyikan bau busuk yang menyengat. Anehnya, ketika di luar tidak tercium barang sebentar pun bau ini.

Rasa penasaranku mulai bergejolak. Semakin aku ingin mencari tahu apa yang telah terjadi di gubuk ini semakin aku dihinggapi rasa takut. Tanganku meraba sesuatu. Sesuatu yang sedikit menonjol dari balik dinding yang terbuat dari jalinan pandan yang sudah dikeringkan. Kupastikan bahwa ada sesuatu dari balik dinding ini dengan meraba setiap sisinya. Ternyata memang ada sesuatu. Sesegera itu pula aku berusaha mencari sesuatu untuk membuka dinding ini. Apa yang tersembunyi di baliknya. Aku menuju ke depan gubuk. Ke halaman. Kutemukan linggis di bawah kursi muka. Kembali ke belakang. Darahku bergejolak. Keringat mulai keluar dari pori-pori. Muncul rasa ingin menyibak tabir yang selama ini tersimpan rapi di gubuk usang ini. Di gubuk yang seharusnya sudah di gusur oleh pemerintah. Tidak lagi terpikirkan olehku Sri yang menanti di kampung. Rasa ingin tahuku terhadap gubuk ini lebih besar dari pada pekerjaan yang kuharapkan. Dinding kuhantam keras-keras. Pelan-pelan mulai tampak sesuatu. Sebuah lengan jatuh ke lantai. Ya Tuhan! Aku terkejut dan melompat. Baunya semakin sangit. Mengapa bisa ada mayat di gubuk ini. Mayat yang sengaja dipotong-potong. Benar dugaanku bahwa ada mayat di sini. Tanggung terbuka. Kuhantamkan linggis lebih keras lagi. Satu-satu potongan tubuh manusia mulai berceceran di lantai. Tanpa kepala. Kemana kepalanya? Pembunuhnya sengaja tidak meninggalkan bukti dengan memisahkan bagian tubuh mayat dan kepala. Benar-benar cerdas dan sadis.

Badanku mulai gemetar. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya. Ah, lebih baik aku cepat-cepat pergi dari sini. Jangan sampai orang mengira bahwa akulah yang telah membunuh orang ini.

Secepat kilat aku lari ke muka. Tapi ada seseorang di pintu muka. Ah, ternyata orang tua yang tadi di perhentian bis. Mau apa dia kemari.

“Hei nak, kan sudah kukatakan tadi agar kau pergi dari sini. Kau telah mengacaukan semuanya.” Orang tua itu mengeluarkan sebilah belati dari balik kemejanya dan mengarahkannya padaku.

“Oh, ternyata bapak yang telah membunuh orang itu. Jadi ini yang bapak sembunyikan selama ini.” Kuambil posisi untuk menghindari belatinya.

“Nak, kau harus kubunuh karena kau telah mengetahui semuanya. Semua yang kusimpan rapi di gubuk ini. Tak ada lagi yang akan kusisakan. Termasuk kau.”

“Kenapa bapak membunuhnya? Apa yang bapak inginkan darinya?”

“Itu bukan urusanmu. Dia telah menghancurkan seluruh hidupku. Minah dan dua putriku telah di bunuhnya. Padahal aku telah berjanji akan membayar semua hutang-hutangku padanya tapi dia tak mau mendengarkannya. Inilah balasan yang setimpal untuknya.” Sekarang mulai jelaslah semua rahasia yang tersimpan di gubuk ini. Juga suasana yang mencekam di perhentian bis itu.

“Bapak tahu dengan apa yang telah bapak lakukan?”

“Ah, jangan sok suci anak muda. Mana ada lagi orang jujur di dunia ini. Sekarang kau harus kubunuh!” Orang tua itu mengayunkan belatinya ke arahku. Eits! Hampir saja. Aku harus segera menghindar dan lari dari orang tua sinting ini. Kupacu langkah ke arah belakang. Ah, tidak! Pintu belakang gubuk ini terkunci. Aku terperangkap. Seketika itu sebuah ayunan belati mendarat di kepalaku. Darah mengucur dan bercak-bercaknya menempel di dinding. Senyum puas terpancar dari orang tua itu. Pandanganku kabur. Gelap.

Maafkan aku Sri. Aku telah mengecewakanmu. Tapi kau harus tahu bahwa aku telah berbuat sesuatu yang berarti di sini. Sesuatu yang kau tidak pernah mengerti. Walaupun apa yang aku lakukan ini tidak seorang pun mengetahuinya. Maafkan aku. Jaga anak dalam kandunganmu itu baik-baik. Kelak surat kabar akan memberitakan segalanya. Dari situ pula akan aku sampaikan salam perpisahan untukmu.

Sehari kemudian, tersiar kabar tentang dua sosok mayat yang terpotong-potong dan seorang tua yang mati gantung diri di dalam sebuah gubuk dekat perhentian bis jurusan Malang.

Rumah Teduh, 23 Juni 2007

Sumber; padang ekspres 5 agustus 2007

Cerai Teratai

Cerpen Delvi Yandra

Han Hyun Dong menarik napas panjang ketika melihat keluar jendela dari tingkap apartemen di Youido. Persis di tengah-tengah kota Seoul yang kini sudah jadi kota “mati.” Gedung-gedung berdesakan seperti menunggu antrian panjang yang tak pernah berkesudahan. Matahari enggan disapa sebab perkantoran dan apartemen yang bertingkat-tingkat menghalangi cahayanya. Orang-orang pun seperti dikejar waktu dan jadilah mereka robot-robot bernyawa yang bergerak setiap hari secara statis. Ah, barangkali hanya sungai Han yang bisa jadi hiasan abadi di kota ini. Sungai itu mengalir melewati Seoul. Hyun tersentak dari lamunan ketika mendengar suara gumamanku yang setengah sadar.

“Kau sudah bangun?” sapa Hyun.

“Ah, aku belum ingin bangun. Sayang, bisakah kau tutup tirai itu?” pintaku. Hyun malah menghampiri jam weker yang terletak di atas meja dekat tempat tidur. Kemudian Ia mengangkat jam weker itu lalu menunjukannya padaku.

“Kau tahu jam berapa sekarang?”

Aku kaget dan langsung melompat dari tempat tidur. “Ya ampun! aku lupa menyetel alarmnya,” pikirku sembari bergegas ke kamar mandi tanpa melepas piyama.

Sarapan tersaji. Masakan Hyun menjadi sesuatu yang selalu ditunggu-tunggu setiap pagi ketika aku akan berangkat kerja. Rupa-rupanya aku telah jatuh cinta tidak hanya pada Hyun tapi juga pada masakannya. Sungguh. Kimchi buatannya pagi ini pasti enak. Kadang-kadang bulgogi di akhir pekan yaitu potongan-potongan daging yang dipanggang di atas tungku setelah diasinkan dalam sebuah pencampur sambal, minyak wijen, bawang putih, biji wijen, bawang hijau dan bumbu makanan lainnya. Ia tahu kalau aku suka pedas dan panas jadi ia menyajikannya dengan “sedemikian rupa.” Makan dengan tenang. Selepas sarapan aku pamit lalu bergegas turun sedang Hyun membereskan kembali meja makan. Segera. Turun dengan lift. Tidak. Beberapa hari yang lalu lift di sini rusak akibat salah seorang penghuni apartemen salah menekan tombol dari dalam lift tersebut, jadi harus menggunakan satu-satunya alternatif lain yaitu dengan menuruni tangga. Butuh waktu cukup lama juga untuk turun dari lantai 26 ini. Ya. Apalagi untuk sampai ke tempat kerja, aku mengukur waktu supaya tidak terlambat. Sesampai di bawah aku cukup merasa kelelahan. Sedikit berkeringat. Di depan apartemen terdapat sebuah kolam yang dihiasi dua kumpulan teratai. Di tengahnya berdiri kokoh sebuah patung yaitu seorang perempuan (kira-kira usianya tiga puluh-an) yang memegang setangkai teratai di tangan kanannya, sedangkan tangan kiri menyentuh dada dan matanya menatap jauh ke dalam air yang berada di kolam tersebut. Biasanya tiap-tiap rumah ada kolam teratainya tapi sekarang kebiasaan itu hampir jarang dijumpai kecuali di rumah-rumah daerah pedesaan. Di apartemen ini pun mungkin hanya suatu kebetulan yang wajar. Jalan penuh sesak. Orang-orang lebih senang berjalan kaki daripada naik bis. Jalan kaki menjadi alternatif yang dipilih supaya tidak terlambat pergi ke kantor, sekolah, dan segala tetek bengek kegiatan sehari-hari lainnya. Mereka beranggapan bahwa jalan kaki lebih cepat sampai di tujuan daripada naik bis. Terbukti. Di halte. Aku menunggu lagi seperti biasa. Bis layaknya mesin pengendali kehidupan. Terlambat sedetik saja bisa jadi terlambat berjam-jam. Untung saja tidak terlambat. Akhirnya sampai juga.

Aku bekerja di Chosun Ilbo. Sebuah instansi surat kabar tertua yang ada di Korea. Dong-A Ilbo. Juga merupakan yang tertua bersamaan dengan Chosun Ilbo. Media-media tersebut diresmikan pada tahun 1920 yang (menurut kabarnya) dianggap untuk kemerdekaan dan kebijaksanaan dalam mempengaruhi opini publik. Sungguh pengalaman yang menyenangkan bisa melakukan pekerjaan sebagai seorang kreator pada media yang namanya sudah melanglang buana itu. Tidak mudah mendapatkan pekerjaan ini jadi harus berusaha semaksimal mungkin.

Pernah suatu ketika aku membuat satu kesalahan (tepatnya kelalaian) sehingga redaktur memaki-maki aku dan hasil kerjaku yang menurutnya berantakan. Aku tidak terpukul. Sedih. Juga tidak. Malah jadi tambah semangat bekerja dan lebih berhati-hati lagi. Jadwal kerja semakin padat. Sirkulasi surat kabar meningkat tajam. Hampir sepertiga hari kuhabiskan hanya untuk duduk di kursi kerja. Sibuk. Repot.

Lelah. Kata-kata itu sering muncul dalam pikiranku setiap kali usai bekerja. Betapa tidak, pagi-pagi tumpukan kertas sudah menanti lagi di atas meja kerja. Pulang larut. Disamping itu semua, ada hal lain yang mesti diutamakan. Keluarga. Ya. Ketika tiba di rumah, Hyun seperti biasa menunggu kepulanganku di kursi sofa dekat depan pintu. Suamiku. Ia laki-laki tangguh yang bekerja di rumah layaknya seorang ibu rumah tangga. Ia menggantikan peran sesungguhnya seorang istri. Kadang-kadang ia juga sempat menulis. Profesinya. Tulisannya pernah dimuat dalam surat kabar tempat aku bekerja (kadang-kadang juga disurat kabar lain). Ia begitu perhatian padaku dalam hal apapun. Juga pengertiannya itu. Aku jadi takut kehilangannya. Takut kalau-kalau nanti ia berubah pikiran.

Festival Chusok. Hari yang ditunggu-tunggu di mana aku bisa membagi waktu dengan suami di luar pekerjaan. Hilang beban sejenak. Chusok merupakan perayaan besar yang diiringi oleh tarian Kanggangsuwolle untuk memperingati hari lahirnya Budha. Di adakan di sebuah ruangan seperti arena yang luas, biasanya ruangan tersebut memang ditujukan untuk perayaan-perayaan besar (kadang-kadang juga untuk pementasan). Aku menikmatinya. Juga suamiku. Tidak. Sanak keluarga tidak sedang bersama kami. Wajar. Aku sudah memilih Hyun. Aku yakin dengan pilihan ini. Sebenarnya memang dari dulu mereka tidak menyetujui hubunganku dengan Hyun. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi jauh meninggalkan mereka. Ah, aku jadi teringat mereka lagi. sudahlah.

Sekarang hidup kami sudah mapan tapi rasanya masih ada saja yang kurang. Ya. Sudah sewindu kami menikah tapi belum juga dikaruniai seorang anak yang keberadaannya selalu didambakan dalam kehidupan rumah tangga. Segala cara kami lakukan. Segala obat kami coba. Ada juga yang dicoba-coba. Pernah juga sekali waktu kami konsultasi ke klinik. Dokter bilang suamiku yang tidak mau “berusaha.” Sebenarnya bisa saja kami mengadopsi seorang anak tapi itu bukanlah suatu keputusan akhir yang kami anggap baik. Hyun tidak marah. Putus asa. Tidak juga. Sedih apalagi. Padahal aku berkali-kali mencemaskannya, tapi ia tak memberi reaksi sedikitpun. Apa ia merasa hal ini tidak terlalu penting? Apa mungkin ini karma? Lama-lama kami jadi merasa asing. Kemelut batin yang juga asing.

***

Tidak seperti hari-hari yang lalu. Aku pulang larut lagi. Lebih larut dari biasanya. Di salah satu sudut dinding, jarum jam menunjukan pukul dua belas lewat dua puluh lima menit tengah malam. Hyun masih duduk di sofa. Menungguku. Tapi kali ini aku merasa seolah-olah ia menyambut kepulanganku dengan ribu-ribu pertanyaan. Kemudian ia memanggilku untuk duduk di dekatnya. Aneh. Padahal biasanya ia langsung menuntunku ke kamar tidur. Aku langsung berpikir kalau ia akan mengatakan sesuatu yang sangat penting. Lebih dari kata-kata yang pernah diucapkannya selama ini. Akhirnya aku pun menurutinya.

“Hwa Rin, aku mau bicara. Mungkin sebuah pertanyaan,” Hyun menatapku tajam.

“Pasti sesuatu yang penting,” aku menebak sembari meletakkan tas kerjaku di atas meja dekat sofa tempat Hyun duduk.

“Menurutku”

“Menurutmu?”

“Ya, menurutku. Aku tidak yakin menurutmu juga sama denganku,” Ia lebih tajam lagi menatapku. Sampai ke isi dalam mataku. Aku jadi semakin bingung dengan apa yang ia sampaikan diawal pertanyaan yang akan diutarakannya. Semakin penasaran. Aku menimbang bahwa aku ini istri yang baik selama ini. Bahkan menurut sudut pandangku, aku tidak pernah melakukan kesalahan yang akan membuatnya sakit hati atau mungkin melakukan sesuatu yang tidak menyenangkannya. Aku coba mengingat kembali satu persatu. Benar-benar tidak ada. Sungguh.

“Apa yang menurutmu penting sayang,” kucoba memegang tangannya.

“Boleh aku minum dulu?” pintanya.

“Minum? Jadi itu yang menurutmu penting?” aku berbalik tanya.

“Bukan, aku benar-benar ingin minum!” tegasnya.

“Oh, sebentar.” Lalu aku bergegas ke dapur.

Semakin bingung. Kusut. Serupa benang kusut yang masuk dalam kepalaku. Sulit untuk digulung dengan rapi. Ah, mungkin aku terlalu berpikiran buruk sehingga aku tenggelam dalam kecemasan. Padahal setahuku selama ini hubunganku dengan Hyun baik-baik saja. Sekiraku kalau boleh aku bangga, rumah tanggaku mungkin lebih baik (boleh dibilang akur) daripada keluarga kebanyakan. Kutuang air dari cerek yang terletak di atas etalase dekat sudut dapur ke dalam cangkir bermotif teratai yang tertelungkup di atas meja dapur. Lalu kembali ke ruang tamu tempat Hyun menunggu secangkir air putih dariku. Sebelum sampai, di balik daun pintu menuju ruang tamu kuhentikan langkahku sebentar. Kulihat ia masih duduk di sofa dengan wajah mengkerut dan tangan yang menekuk di keningnya. Sempat terpikir olehku, pertanyaan apa yang akan disampaikannya padaku hingga ia begitu kalutnya. Ah, lagi-lagi aku begini. Kuhampiri ia. Sebelum meneguk air itu, sekilas ia menatap tajam lagi padaku. Sekiraku, aku ini seperti orang lain saja di matanya. Ah, lagi-lagi! Ia meminumnya. Kubayangkan kalau air putih itu adalah aku. Ditelan ke dalam perutnya yang gelap.

“Terima kasih Hwa Rin”

“…”

“Dam Hwa Rin? Kenapa?”

“Oh, tidak”

“Aku jadi ragu untuk menanyakannya”

“kenapa? Padahal sudah sedari tadi aku menantinya”

“Aku ragu bila melihat keadaanmu sekarang”

“Tidak, jangan urungkan. Aku sudah siap”

“Siap? Untuk apa? Tidak ada yang perlu di persiapkan”

“Aku tahu, mulailah bertanya”

“Benarkah?”

“Ya, mulailah”

Lama sekali. Kami saling tertumbuk pandang. Berdiam diri. Detak jarum jam berbunyi keras sekali hingga menimpali suara apapun di ruangan ini. Aku masih menunggu lama hanya untuk sebuah pertanyaan darinya. Pertanyaan yang barangkali menentukan hidup mati perjalanan rumah tangga kami. Asumsiku demikian. Tapi tidak menutup kemungkinan juga perkiraanku itu benar. Berbanding lima puluh persen dari kebalikannya.

“Apalagi?” tanyaku.

“Menyusun”

“Menyusun apa,” aku jadi heran.

“Kata-kataku”

“Langsung saja,” pintaku.

“Tidak bisa, salah-salah nanti bisa tersinggung”

“Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan itu”

“Siapa yang telah membuatmu tersinggung?” tanya Hyun segera.

“Tidak separah yang kau bayangkan, hanya redaktur yang sedikit kecewa kok,” aku memperjelas kata-kataku.

“Oh, jadi kau mengecewakannya?”

“Hanya sedikit, itu pun tidak begitu penting,” dalihku.

“Syukurlah”

“Susunlah”

”Apa?”

“Kata-katamu tadi”

“Aku bingung memulainya, bagaimana kalau kita istirahat dulu?” tawar Hyun.

“Mana bisa, aku tidak akan bisa tidur”

Ah, Hyun mulai berbelit-belit. Aku jadi tidak nyaman. Apalagi untuk tidur. Ia seolah-olah mengulur waktu untuk sesuatu yang sedang ditunggunya. Menunggu aku marah. Naik darah. Jangan sampai itu terjadi. Tidak pernah ia seperti ini sebelumnya. Jauh hari aku mengenalnya sebagai orang yang penyabar dan baik. Sempurna. Sangat jauh berbeda dengan Hyun yang baru kukenal malam ini. Ia begitu misterius. Juga lebih serius dari biasanya.

“Bagaimana kalau kita berpisah,” tiba-tiba Hyun mengatakan sesuatu. Hening. Apa yang sedari tadi terpikirkan olehku jadi hilang. Aku seakan tidak percaya. Kalau bisa, aku ingin ia mengulangi kata-katanya barusan. Kucoba itu.

“Apa?”

“Kita pisah”, jelas Hyun.

“Maksudmu cerai,” tanyaku ragu.

“Ya”

Sudah kuduga. Kecemasanku terungkap. Apa yang menjadi ketakutanku selama bersamanya meledak seketika itu. Padahal sebelumnya kami saling percaya bahwa akan segera memiliki anak. Kurasa aku tidak perlu lagi menanyakan alasannya. Jawabannya sudah lama bersarang di kepalaku. Kecukupan selama ini ternyata adalah kekurangan. Hyun menyimpan semuanya dan sekarang ia utarakan. Luapan perasaan sebenarnya. Emosinya itu. Suasana hampa. Beku. Teratai dalam kolam di depan apartemen hanya tinggal sekumpul. Lainnya entah kemana (barangkali tercerai-berai).

Padang, 13 Mei 2007