Sabtu, 16 Februari 2008

Masjid Merah

Masjid Merah
Cerpen Delvi Yandra

Tidak ada yang tahu pasti, mengapa anak-anakku bisa berada di dalam Masjid Merah sedangkan yang lain sudah banyak yang pulang sebelum peristiwa na’as itu terjadi. Tapi yang pasti mereka sedang dalam situasi gawat. Kegelisahan menyergap dalam kepalaku dan upaya apapun harus kutempuh. Aku harus menyelamatkannya. Bagaimana pun caranya, aku akan melakukan sesuatu.

Apa yang dapat menghalangiku untuk menjemput Akmal dan Uswah yang baru akan pulang dari mengaji di Masjid Merah. Sekalipun tidak, apalagi dari serangan tentara Pakistan yang sedang bersitegang dengan pendukung Ulama Abdul Rashid Ghazi.

Peluru-peluru panas menembus ke kedalaman tanah dan dinding masjid. Teriakan-teriakan histeris warga sekitar melengking ketika sebuah bom rakitan milik pendukung Ulama meledak pada salah satu mobil pick-up yang berada di parkiran halaman Masjid Merah. Seorang pria paruh baya yang mengenakan jas tergeletak tak berdaya di salah satu sudut jalan. Peristiwa itu menandakan adanya ekstremisme dan terorisme yang belum terkikis dan mereka kukuh memerangi setiap penyimpangan moral dari sudut wilayah Pakistan. Apakah juga termasuk anak-anak yang sedang berada di dalam masjid? Aku tidak habis pikir. Entah apa yang bersarang di dalam kepala mereka. Barangkali terlalu banyak benturan yang menghantam mereka. Kediktatoran militer, radikalisme, fundamentalisme, disusul dengan ekstremisme dan terorisme. Barangkali begitu cara mereka menegakan hukum syariah. Aku ini hanya seorang sipil! Lantas apa yang membuat mereka kelak dengan rela melepas nyawa anak-anak yang sedang terjebak di dalam sebuah Masjid dimana di sekelilingnya sekelompok orang sedang bertikai. Pemikiran yang di luar batas pemikiran seorang ayah sepertiku. Aku hanya tidak ingin tahu banyak tentang apa yang sedang mereka perjuangkan. Aku hanya ingin anak-anakku lepas bebas dan keluar dengan selamat dari dalam sana.

Mendadak aku dihadapkan pada kematian yang sudah pasti ada di depanku. Ketika aku mulai berani berlari di antara berondongan peluru dan bom dan masuk ke dalam masjid, di saat itu pulalah aku mulai dapat merasakan kegentingan hidup dan pintu kematian yang jaraknya tidak lebih dari satu senti meter.

Samar-samar aku dapat mendengar suara anak-anakku dari dalam Masjid Merah yang sedang membutuhkanku, sepertinya mereka sedang disandera.

“Kami tidak menyandera anak-anak ini, mereka sendiri yang menginginkannya. Mereka dengan senang hati menawarkan diri untuk tetap berada di dalam. Bahkan mereka juga mengatakan kalau mereka akan ikut berjuang bersama kami. Kami tidak memaksa mereka. Kalian boleh tanyakan itu pada mereka. Eh, maksudku kalian bisa membuktikannya.” Salah satu dari mereka yang sedang berada di sudut Masjid berkata demikian. Sungguh tak ada yang mengira bahwa pendukung Ulama akan mengatakan hal demikian. Dan mereka¾warga yang sedang menyaksikan peristiwa itu¾ percaya dengan pernyataan yang disampaikan melalui jendela Masjid. Tapi bukan itu yang diharapkan oleh kelompok-kelompok ini. Juga aku. Apalagi anak-anakku yang katanya bersikukuh berdiam di dalam Masjid. Tapi keadaan memaksa. Di sebelah timur dekat tanah lapang, beberapa ambulan milik pemerintah telah dipersiapkan untuk mengangkut korban dari kedua belah pihak. Dilengkapi dengan tempat tidur dorong, botol infus dan beberapa kantong darah.

Kususuri jalan-jalan kecil dan beraspal dekat sudut kompleks di Lahore menuju belakang Masjid Merah. Mencari celah untuk masuk ke dalam. Tapi yang menghalangi adalah pagar-pagar besi dan kawat berduri yang sengaja telah dipasang oleh pendukung Ulama agar tak ada yang dapat masuk. Aku coba memastikan kalau mereka sedang tidak mengawasiku. Tiba-tiba terdengar suara tembakan senapan dari arah Masjid Merah disusul kemudian sebuah peluru menembus batang kayu yang berdiri kokoh tepat di sampingku. Seketika itu pula, kulit pohon yang ulet, pecah dan berkecai. Ah, aku ketahuan.

Tak ada cara lain lagi. Aku harus segera pergi dari sini, menghubungi polisi dan pemerintah. Ketika kuadukan, tak ada yang peduli bahkan pemerintah sekalipun. Aku hanya dapat membayangkan Musharraf yang sedang berkhotbah di depan ribuan warga Pakistan seraya menyerukan kalimat-kalimat perdamaian.

“Oh Tuhan! Tolong selamatkan anak-anak saya.” Tidak ada yang mendengar keluhanku di tengah kerumunan warga yang berada tidak jauh dari masjid merah. Mereka hanya menyerukan hal serupa, yang disampaikan oleh pendukung Ulama. Bahkan mereka tidak segan-segan membunuh seorang imigran China yang diduga menjalankan prostitusi di Islamabad. Walaupun ia mengaku tidak bersalah, tapi ujung pistol tetap saja mampir di jidatnya yang hanya berjarak beberapa senti meter.

Dilematis. Itu yang dapat aku rasakan. Seharusnya pertikaian ini tidak harus terjadi. Ah, peduli apa aku dengan semua itu. Anak-anakku dalam bahaya. Setahun yang lalu kuhantar mereka untuk belajar di Masjid itu tapi entah pelajaran apa yang mereka dapat di sana hingga salah seorang dari mereka mengatakan bahwa anak-anakku dengan rela diri untuk tetap memilih bertahan di dalam Masjid Merah. Suatu ketika pernah kutanyakan satu hal kepada mereka bahwa apa yang kelak akan kalian lakukan setelah ini, setelah semua terlihat sama dan tak ada pembeda. Ternyata pilihan ini adalah jawaban dari pertanyaan yang kuutarakan beberapa tahun lalu. Jawaban ini yang akan mereka pertahankan dan perjuangkan dalam barisan pendukung Ulama. Tapi tetap secara naluri aku tidak ingin anak-anakku terjebak ke dalam lubang yang lebih dalam, yang membawa mereka ke dasar yang tak berpenghujung. Aku ayahnya, dan akan tetap begitu sampai aku dapat menyelamatkan mereka dari lubang itu. Hanya saja aku harus lebih jeli dalam memilih, lubang mana yang akan membawaku kepada mereka. Pertikaian semakin memuncak.

Darah demi kekuasaan. Demikian mereka menjuluki serangan itu. Bagaimana Masjid yang seharusnya merupakan tempat beribadah dapat menjadi sarana baku tembak. Barangkali satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini adalah mukjizat dari Tuhan. Mengapa permasalahan in tidak dibicarakan baik-baik dengan pihak pemerintah atau mungkin sudah tidak ada lagi tempat berdiskusi yang baik, yang akan memperjuangkan syariah islam di Pakistan.

Pilihannya adalah Musharraf harus mundur. Begitu mereka memutuskan setiap kali diskusi mulai mencapai puncak ketegangan yang kemudian mereda dengan baku hantam. Delapan tahun pemerintahannya telah menumbuhkan radikalisme dalam hati rakyat. Tapi bagiku, ini merupakan persoalan internasional. Sampai saat ini pun kurasa belum ada pemecahan yang berarti.

Ah, sedang apa aku ini. Kembali kepada tujuan awal, yang harus segera kulakukan adalah menyelinap ke dalam Masjid Merah dengan caraku sendiri. Aku tidak ingin anak-anakku mati konyol. Biar aku saja yang melakukannya sebab tidak ada yang dapat dimintai pertolongan dalam kondisi seperti ini.

***

Wahai istriku, sesungguhnya benar apa yang pernah kau katakan kepadaku ketika aku menghantarmu ke klinik Gamal Sechan untuk melakukan persalinan anak kedua kita, Uswah. Kau bilang; jika kelak anak yang kulahirkan mendustai agama dan Tuhan maka luruskan ia dengan pengorbanan dan keikhlasan, aku yakin akan terang jalan pikirannya dan setelah kita berbuat sesuatu yang berarti kelak ia akan membalasnya dengan tanpa kita duga-duga, begitu pula dengan Akmal.

Aku masih ingat kata-kata yang membikin perasaanku bertambah padamu sampai ketika kau menghembuskan nafas terakhir di kamar persalinan itu. Dan sekarang ingatan itu kembali padaku dan membikin aku dihadapkan pada pilihan-pilihan yang menyakitkan. Tahukah kau, bahwa anak-anak kita telah memilih jalan ini. Aku tidak mengerti apakah jalan ini jalan yang terang seperti yang pernah kau katakan atau hanya pelampiasan atas ketidakpuasan mereka terhadap ajaran kita dan Tuhan. Tapi aku ini masih punya rasa, masih punya cinta, bahwa mereka tetaplah anak-anak kita. Mereka harus kembali pada kita sebab aku yakin Tuhan sedang menguji kita. Dan sempat aku berpikir setelah mendoakanmu di pemakaman bahwa akan ada tempat yang lebih baik setelah ini. Itu yang membikin aku berani hidup dan sanggup menghadapi resiko-resiko yang belum ada apa-apanya ini.

Lamunanku buyar setelah mendengar sorak sorai dari warga Islamabad yang dengan semangat meneriakan panji-panji kebenaran dan ayat-ayat suci Tuhan di depan Masjid Merah. Aku tenggelam di antara kerumunan mereka yang penuh peluh dan keyakinan. Semangat mereka masuk ke dalam tubuh dan bangkit sesosok Fazil di dadaku. Fazil yang kau cintai ini, istriku.

“Pinjamkan kayu itu padaku.” Kataku di sela-sela teriakan mereka. Aku berlari ke arah masjid merah setelah salah seorang dari mereka memberikan sebatang kayu pengikat bendera dengan pandangan penuh keyakinan padaku.

“Ambil dia, anak-anakmu.” Di antara berondongan peluru yang datang dari balik tembok dan jendela Masjid Merah, aku mendengar sesuara seperti kokangan senapan rakitan dan aroma bubuk mesiu yang semakin aku mendekat semakin menyengat aromanya. Bisikan demi bisikan yang mengatakan “darah demi kekuasaan” terdengar jelas dan mencubit telingaku pelan-pelan. Kadang-kadang mereka yang berdiam di punggungku mendukung dan mencegah apa yang sedang kulakukan. Mereka belum mengerti bahwa bagiku anak-anak adalah harta kekayaan yang tak ada pembandingnya di dalam sebuah keluarga. Apa mereka belum pernah mendapatkan harta kekayaan itu atau mereka tidak akan dapat memahami tentang betapa berartinya seorang anak di dunia sedangkan aku punya dua, pikirku. Inilah alasanku untuk terus maju dan berani mengambil resiko-resiko yang sulit dan penuh dengan pilihan yang dapat menjerumuskan hati dan pikiran rasional.

Walau bagaimanapun, aku tetaplah manusia. Keragu-raguan mulai hinggap dan bersarang dalam diri. Ketakutan berdiam di kelembagaan hati. Bila aku ingin, masih sempat untuk berbalik arah sebelum berondongan peluru menembus tubuh dan membikin ngalir darahku.

Tiba-tiba pandanganku menembus jendela Masjid Merah dan aku dapat dengan jelas melihat Akmal. Matanya berair. Sebelum ia berani berteriak, seorang pendukung Ulama membungkam mulutnya. Mereka telah berbohong. Anak-anakku tidak menawarkan diri untuk tetap berdiam di dalam dan itu bukan keinginan mereka. Semakin besar keinginanku untuk menyelamatkan mereka. Anak-anakku.

Keinginanku terbang setelah sebuah peluru menembus paha kiriku. Kuseretkan langkah yang hampir mencapai dinding masjid merah yang cukup jauh dari jangkauan pendukung Ulama. Kupecahkan kaca jendela dengan sebatang kayu yang kubawa dan aku masuk ke dalamnya. Semakin aku mencapai anak-anakku semakin banyak lubang di tubuhku dan darah mengalir dengan hebatnya.

Terakhir yang kuingat adalah hangatnya pelukan Akmal dan Uswah yang seolah ingin membalut tubuhku dari luka dan suara-suara polisi Islamabad yang samar-samar mengatakan “tangan di kepala! Buang senjata kalian!”

Mereka telah tertangkap.

Kelak kegembiraan akan kembali. Dan istriku, kata-katamu telah kubuktikan di dalam Masjid Merah ini walaupun dalam memperjuangkannya butuh darah. Maafkan aku yang tak mengunjungimu beberapa bulan ini. Aku terlalu sibuk dengan domba-domba itu. Tapi jangan khawatir, dalam waktu dekat kami bertiga akan datang dan berdoa untukmu. Dan kami juga akan membersihkan kuburanmu dan menyiramnya dengan air suci.

Kandangpadati, 1 Agustus 2007

*Di ilhami dari peristiwa pertikaian antara pendukung Ulama Abdul Rashid Ghazi dan tentara Pakistan di Masjid Merah, Pakistan pada tanggal 10 Juli 2007

2 komentar:

Anonim mengatakan...

hmm ok bang,,,,, kapan bang bisa aja n kapan bang ada waktu. cha sering ke pantai, tapi kalau ada temen yang ajak. kadang kalau lagi sedih banget, cha berani pergi sendirian, gak mikir pulan jam berapa. kalau dah gak sedih lagi, baru deh sadar kalau cha lagi dalam bahaya pulang pake apa?,,,hehehehehe. thanks yah bang,,,,, kapan bang ada waktu kita ke pantai. kalau cha sih gak masalah kapannya. sebab cha di pmails gak terikat,,,, cha bisa datang kapan aja ke pmails heheheheheh
makanya cha pengen nyari kerja yang lain, biar waktu cha bisa bermanfaat sepenuhnya....

delvi yandra mengatakan...

wah, kali ini bang benar-benar senang ada seorang perempuan yang mau membuka diri pada bang, dengan keterbukaan itu pula tumbuh kebersamaan, dan dengan begitu bang percaya cha bakal segera menemukan pekerjaan buat cha, bang berharap cha tidak merasa jenuh dengan rumah, sebab rumah tempat berdiam yang paling tenang, pelindung dari dunia luar yang asing, meski cha gak merasa nyaman berada cukup lama di dalam rumah tapi untuk mengenal rumah butuh waktu dan proses yang alami, percayalah...