Selasa, 08 April 2008

Andalusia

Andalusia
Cerpen Delvi Yandra

Masih tercium aroma jeruk-jeruk itu di tiga hektar tanah ini, walaupun sedang tidak musim panen. Dan kelihatannya, perkebunan ini sudah tidak terurus lagi. Jeruk yang dahulu sering ia petik bersama Yasmine untuk kemudian di bawa ke Sidi Mahrez. Segalanya berubah sejak kematian ibu dan kepergian Yasmine.
Sekali petik, ia bisa membawa sedikitnya satu ton jeruk manis dan segar. Ada kenikmatan yang ia dapat ketika sedang memetik buahnya. Buah yang berjejer dan kuning bergelantungan. Apalagi kalau melihat Yasmine sedang tersenyum di sampingnya dengan keranjang yang penuh dengan jeruk. Penat dan letih pun jadi tidak terasa. Ia bayangkan melihat Yasmin seperti melihat ibu. Penuh semangat dan juang. Tapi ibu, kini ia hanya dapat menjenguknya di pemakaman umum setiap akhir pekan. Berdampingan dengan makam ayah. Dan Yasmine, entah kapan ia akan pulang dari La Marsa. Setelah setahun lalu, Bahrem membawanya ke sana untuk bekerja sebagai pramusaji. Dan, sudah lebih sebulan ia tidak mendapat surat balasan dari Yasmine walaupun dalam seminggu setidak-tidaknya ia telah mengirimi Yasmin tiga pucuk surat. Sebenarnya ia bisa saja datang ke La Marsa, tapi ia kawatir Bahrem tidak akan menyambut baik kedatangannya. Bahrem memang sejak dahulu tidak menyukainya. Apalagi bargaul dengan Yasmine. Oleh karena itu, Bahrem berkeras hati tetap membawa adik perempuannya itu ke La Marsa.
Ia sandarkan tubuh letihnya pada sebuah balok kayu besar yang tegak di beranda. Diusapnya tangan yang kusam dan penuh dengan tanah sembari menyeruput secangkir teh hangat bertabur bunga yasmine dan daun mint. Semburat merah matahari petang menyelinap lewat celah-celah daun dan batang jeruk. Sesekali, semilir angin membawanya terlelap. Ia mencoba melawan. Tapi akhirnya, ia mengalah dan matanya pun terkatup.
***
“Ibu, lihatlah! Jeruk yang ini sudah ranum. Ini jeruk yang sering dipelihara Yasmine. Sekarang sudah benar-benar bisa dipetik.” Jeritnya dari kejauhan selagi ibu membersihkan rumput-rumput kecil di sekeliling batang jeruk.
Ia masih asyik masyuk memperhatikan setiap batang jeruk yang barangkali sudah bisa dipetik buahnya. Kalau ia penasaran, batang itu dipanjatnya untuk dapat melihat lebih dekat barangkali ada satu atau dua buah jeruk yang sudah ranum. Sebelum ulat-ulat lebih dahulu menemukannya sebab ulat-ulat di sini tak bisa diajak berdiskusi, apalagi di musim panen. Ia kegirangan sebab ia mendapat hampir sekeranjang penuh buah jeruk. Dalam hati, ia mengejek ulat-ulat itu. Lalu, ia hampiri ibu dengan penuh bangga. Sebentar kemudian, Yasmine datang membawakan dua gelas teh hangat bertabur bunga yasmine dan daun mint. Aku dan ibu jadi senang.
Ia menunjukan batang jeruk peliharaannya kepada Yasmine. Lalu, mereka saling berlomba memanjat atau menjangkau batang itu sampai ke puncak. Dari atas, mereka dapat menyaksikan jeruk-jeruk kuning masak yang berjejer dan bergelantungan di tiap batangnya. Di ujung sebelah barat perkebunan, berbaris bangunan-bangunan kuno khas Andalusia yang berwarna putih dan biru langit. Sungguh pemandangan menakjubkan yang tak terlupakan. Sejak saat itu, ia ingin selalu dekat dengan Yasmine.
Semarak pemandangan yang mereka saksikan dibuyarkan oleh sayup-sayup suara. Suara yang sangat akrab di telinganya. Ya. Itu suara ibu memanggilnya.
“Graham! Graham! Yasmine! Graham!”
***
Tubuhnya terasa seperti diguncang. Seseorang tengah membangunkannya. Ia memanggilnya.
“Graham! Bangun. Sudah senja.”
Di depan matanya, samar-samar terlihat Abraham tengah membangunkannya.
“Hei, bangun. Apa kau masih akan terus tidur di sini sepanjang hidupmu? Kau mimpi itu lagi?”
Ia tak mempedulikannya. Abraham memang selalu begitu. Kemudian ia berdiri dan menuju truk yang penuh dengan kayu gelondongan. Abraham mengikutinya dari belakang dan duduk di atas kayu gelondongan itu. Secepat kilat truk tersebut melaju kencang. Mereka harus segera menyelesaikan pekerjaan sampingan itu. Lalu truk tersebut menghilang di tikungan. Hanya bunyi serangga-serangga kecil yang menyambut malam. Dan, aroma jeruk yang masih tercium meski belum musim panen.
Abraham, sahabat kental Graham, sudah mengenalnya sejak lama sebelum Yasmine terpaksa meninggalkannya dan melupakan kebun jeruk itu. Sedangkan ia adalah seorang Andalusia. Ia percaya pada pohon jeruk. Bahwa jeruk-jeruk itu akan terus tumbuh di Sidi Bou Said ini. Ia pun percaya kalau Yasmine suatu saat akan pulang menemuinya. Ia adalah si pemimpi seperti yang dikatakan Abraham—yang terus bermimpi kelak cita-citanya akan terwujud. Setiap hari ia pergi ke Sidi Mahrez dan kembali pulang menuju kebun jeruknya. Ia benar-benar seorang pemimpi walaupun kenyataannya Yasmine belum pulang dan tidak akan pernah pulang.
Begitulah seterusnya. Selama berjam-jam ia menantikan pohon jeruk itu terus tumbuh. Seperti penantiannya. Seperti janjinya kepada Yasmine bahwa ia akan tetap mengurus kebun jeruk itu sampai musim panen berikutnya tiba. Entah apa yang membuatnya telah menjadi seorang yang benar-benar sabar. Ia kini lebih tekun mengurus kebun jeruk itu. Ia pun tekun menjalankan ibadah. Doa-doa ia panjatkan, shalat ia tegakkan siang dan malam. Segala hal ia pelajari agar buah-buah jeruk tumbuh dengan subur. Dari persoalan cara bercocok tanam yang baik sampai pada hal-hal apa yang harus dihindari agar jeruk-jeruk tidak terkena hama tanaman. Ia benar-benar telah menjadi seorang yang ahli dibidang perkebunan. Tidak seperti dahulu walaupun ia hanya sedikit pernah belajar tentang jeruk kepada ibunya. Yasmine pasti akan senang dengan apa yang telah ia perbuat.
Ia yakin beberapa tahun lagi kebun jeruknya itu akan sampai pada puncak kejayaan. Dan hal itu benar-benar terwujud. Lihatlah! Kebun jeruk itu telah menjadi pekerjaan yang sukses. Musim panen pun menjadi sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu. Kebun jeruk Graham telah terdengar kemasyurannya sampai ke pelosok negeri. Ia juga yakin bahwa Yasmine pasti telah mendengar hal itu dan akan segera pulang menemuinya.
Kali ini Abraham telah berubah pandang terhadapnya. Ia bukan seorang pemimpi lagi tapi ia telah benar-benar mewujudkan mimpinya itu. Barangkali kelak Abraham akan menulis tentang perjuangan hidup temannya itu di dalam buku hariannya.
Di dekat kebunnya, Graham membangun sebuah rumah yang cukup besar khas Andalusia—yang catnya berwarna putih dan biru. Juga segala perabotan yang melengkapi interior rumahnya. Telah pula ia sediakan sebuah kamar berukuran empat kali enam untuk Yasmine sebab ia yakin bahwa Yasmine kelak akan tinggal bersamanya di rumah itu dan mengurus kebun jeruk bersama-sama. Dan sebuah ruang shalat.
Graham juga telah mempekerjakan beberapa orang kepercayaannya untuk mengurus kebun jeruknya, termasuk sahabat kentalnya Abraham. Tapi tetap saja segala urusan berkebun berada di bawah pengawasannya. Ia percaya bahwa kelak tidak ada diantara orang-orang kepercayaannya itu yang akan berkhianat untuk menghancurkan kebun jeruknya dengan cara halus maupun dengan cara kasar. Kepercayaan merupakan prinsip yang benar-benar ia pegang terhadap orang-orang yang bekerja untuknya. Kepercayaannya itu jugalah yang telah membikinnya untuk terus mempertahankan usaha berkebun jeruk seperti janjinya kepada Yasmine. Dan, ia yakin ibu dan ayah akan bangga dengan apa yang telah ia perbuat. Inilah kebenarannya.
Bertahun-tahun sudah ia mengembangkan usaha berkebun jeruk Beberapa hasil panen terbaiknya telah ia ekspor ke luar negeri. Tapi apalah penantiannya itu. Yasmine yang ia rindukan belum juga pulang atau setidak-tidaknya membalas suratnya. Tidak sekalipun. Rindunya pupus. Batas kesabarannya barangkali telah habis. Suatu ketika ia pernah mendengar kabar angin dari seorang musafir yang kebetulan lewat dan singgah sebentar di perkebunannya. Ia bercerita tentang seorang perempuan bernama Yasmine dari Sidi Mahrez. Perempuan itu telah menikah dengan seorang yang kaya pemilik sebuah restoran terkenal di sana. Katanya, perempuan itu mengaku pernah tinggal di Sidi Bou Said. Oleh karena itu pula, musafir tersebut menyempatkan diri untuk bercerita tentang perempuan itu. Sungguh suatu kebetulan yang cukup membikin pupus harapan Graham untuk menemui perempuan yang begitu ia rindukan. Setelah ia mendengar semuanya, ia memberikan sekeranjang besar jeruk-jeruk segar yang ia petik sendiri kepada musafir yang bercerita untuknya.
Tidak sampai di situ saja, Graham tetap berusaha meyakinkan diri bahwa Yasmine tetap akan pulang menemuinya. Yasmine kelak akan menginjakkan tanah Sidi Bou Said ini sekedar menghirup wangi aroma jeruk miliknya. Ia masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang dikatakan musafir itu. Laki-laki itu hanya seorang musafir. Bisa saja ia bercerita tentang apa yang terlintas di pikirannya untuk sekedar agar ia diberi belas kasih dari seseorang yang ia temui, termasuk Graham. Musafir itu seorang pendongeng yang ulung. Graham belum percaya kalau ia tidak menyaksikan langsung kenyataan yang sebenarnya. Selanjutnya, ia tetap berdoa siang dan malam, shalat dengan tekun, bahkan mengaji sampai tamat.
Sekarang ia telah membuka cabang bagi usahanya. Ia telah membuka lapangan kerja baru bagi para penganggur. Terutama bagi orang-orang yang berada di sekitar kawasan Sidi Bou Said. Tidak sampai di situ saja, usahanya bahkan telah masuk ke Sidi Mahrez dan La Marsa. Untuk itu Graham menyempatkan waktunya untuk melihat-lihat usahanya yang sedang berkembang di Sidi Mahrez dan La Marsa.
Di La Marsa, usahanya benar-benar berkembang pesat. Pemasukan paling banyak ia dapat adalah di La Marsa.
Di sana, ia menemukan seseorang yang selama ini hampir ia lupakan. Perempuan yang terus membikinnya semangat dan terus ingin hidup sebagai seorang Andalusia. Perempuan itu datang ke tempat usahanya bersama seorang laki-laki berjenggot lebat dan seorang lagi adalah bocah yang usianya kira-kira lima tahun. Dan bocah itu, kelihatannya lebih mirip dengan perempuan yang datang bersamanya. Hidung dan matanya persis sama. Bahkan belahan bibirnya juga sama.
Seketika itu pula Graham terkesima dan terpana. Wajahnya pucat dan tubuhnya kaku. Lalu perempuan itu menghampirinya dan menanyakan janjinya.
“bagaimana dengan kebun jeruk kita?”
Ia hanya diam. Perempuan itu paham dengan maksud diam yang disampaikan Graham kepadanya.
Perempuan itu, Yasmine, takjub.
Graham telah memenuhi janjinya. Ia benar-benar seorang Andalusia. Dan ia juga percaya bahwa musafir yang pernah menemuinya dahulu bukanlah seorang pembual. Meskipun ia telah melepas kerinduannya dengan sangat menyakitkan tapi ia tetap percaya bahwa perempuan itu akan tetap terus menanyakan tentang jeruk-jeruknya. Kelak, di musim panen raya, Yasmine akan sering berkunjung untuk sekedar melihat-lihat perkebunannya. Sekedar mencicipi buah rindunya selama bertahun-tahun. Setidak-tidaknya, ia telah membuat sesuatu yang berarti untuk dirinya sendiri.

Kandangpadati, akhir 2007

(pernah dimuat di koran SINDO 6 April 2008)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Hmm, cha pernah baca cerpen bang yang satu ini di padek,,, (kalau gak salah betul). imajinasi bang tinggi banget, jangan tinggi2 bang, nanti jatuhnya sakita banget heheheheh kidding. cha pengen imajinasi yang tinggi kayak bang. bang, kita tukar otak yuk???? sehari aja, atau sejam deh, biar cha copy ke otak cha. hehehe (dasar icha tukal duplikat,,,!) ya udah bang, semangat. kalau dapat besok jangan jadi cerpenis lagi, tapi novelis ok. good luck

delvi yandra mengatakan...

inti dari menulis adalah percaya dan jujur dengan apa yang kita tulis sehingga seseorang bisa menghasilkan karya yang benar-benar layak untuk dinikmati oleh pembaca...

semua orang sebenarnya bisa menulis koq cha..hanya saja tergantung bagaimana cara seseorang itu menuangkan pikiran dan ide-idenya ke dalam bentuk tulisan yang menarik untuk di baca...

terimakasih semangat cha buat bang...dari itu pula bang terus semangat untuk menulis...

sekarang bang punya alasan dan penyemangat untuk terus menulis...

teruslah icha menulis..selama masih bisa menikmati masa-masa menulis yang produktif dan baik...

semangat yach...