Sabtu, 16 Februari 2008

Di Perhentian Bis

Di Perhentian Bis
Cerpen Delvi Yandra


Di sepanjang trotoar, aku melangkah gontai dengan map yang selalu kubawa ke pintu-pintu perusahaan. Tak satu pintu pun pernah membentuk wajahku jadi lebih baik serupa lengkung senyum dan sipit mata yang menyabit di antara orang kebanyakan. Penawaranku selalu ditolak sebab alasan yang tidak jelas. Tidak sesuai dengan perkiraanku padahal aku berjanji akan jadi pekerja yang baik kalau perusahaan berkenan menerimaku. Tapi kenyataannya, tak satu perusahaan pun berbaik hati padaku. Tak satu pun.

Seorang tua dengan tiba-tiba menepuk pundakku. Ketika itu aku tengah tertidur pada sebuah bangku di salah satu tempat perhentian bis. Mata yang memerah dan berurat-urat. Tampak garis-garis keriput di dahi dan beberapa di pipi. Bibirku memucat dan pecah-pecah serupa lahan tandus. Seketika itu pula aku terjaga sebab seorang tua tak kukenal membuyarkan mimpi yang benar-benar kuharapkan akan menjadi suatu kenyataan. Setidak-tidaknya mimpi itu dapat menghiburku setelah letih seharian melamar kerja. Ke perusahaan. Pintu-pintu kantor yang dapat memberi cahaya terang bagi masa depanku, Sri dan si buah hati yang masih berusia tiga bulan berdiam di dalam perut istriku. Sri.

“Maaf nak, ini bis yang terakhir. Apa anak tidak akan naik?” Orang tua itu bertanya seolah-olah ia adalah seseorang yang akan membunuhku dengan tatapan tajamnya. Menyelinap halimun ke dalam pori-pori dan menikam jantungku. Tapi ia memulainya dengan cukup sopan.

“Oh, Eh iya. Bapak bilang apa tadi?” Aku terkesiap dan mempersiapkan diri untuk beranjak dan menjauh dari orang tua itu. Tindakan yang kulakukan dengan tidak sengaja.

“Maksudku, apa anak tidak akan naik bis ini sebab tidak ada bis lain yang akan lewat jalan ini, lagipula hari sudah senja. Sebenarnya anak mau kemana? Dan kenapa bisa sampai tertidur di sini?” Pertanyaan orang tua itu mulai menjurus ke hal-hal yang tak perlu ia tanyakan. Aku mulai mencurigai orang tua yang entah dari mana datang menanyakan sesuatu yang bukan kepentingannya.

“Saya tidak sedang mau kemana-mana, saya hanya kelelahan saja jadi bapak silakan duluan. Saya tidak apa-apa.” Aku langsung menangkis pertanyaan yang dilontarkan orang tua itu agar ia cepat-cepat pergi dari hadapanku. Orang tua itu malah tersenyum simpul sambil membetulkan letak kancing kemeja kusamnya.

“Nama bapak Rustam, bapak sedang senggang hari ini dan bapak juga tidak akan kemana-mana jadi apa anak merasa tidak keberatan kalau bapak temani disini? Sepertinya anak sedang kesusahan, terlihat dari air muka anak.” Ia menerka seperti ia seorang peramal. Aku semakin menjadi-jadi dengan kecemasanku akan kehadirannya. Kutinggalkan orang tua itu dengan mencoba menaiki bis, tapi bis itu telah berlalu dan menjauh dari pandanganku menuju tikungan lalu menghilang.

“Anak tidak usah takut, bapak bukan orang jahat. Bapak hanya ingin membantu kesusahan anak saja. Tidak lebih.” Orang tua itu mulai sedikit-sedikit memberi penjelasan sambil mengajak aku untuk duduk kembali. Matanya itu tidak lagi tajam serupa tadi bahkan terlihat seperti sebuah pancaran cahaya yang sejuk apabila ditatap mata lawan bicara. Kubayangkan serupa tatapan kasih sayang orang tua terhadap anaknya yang telah lama berpisah akhirnya bertemu kembali.

***

Senja menuju tampuknya di susul malam yang memberi pekat cahaya pada bulan dilingkup halimun. Padahal suasana kota masih ramai seperti biasa, baru sekitar jam tujuh dan kendaraan masih banyak yang berlalu lalang. Tapi, entah mengapa suasana di perhentian bis ini seolah-olah mencekam. Seperti ada kesepian yang benar-benar hampa berselimut di sini. Orang tua itu memaku tubuhnya dilingkup bangku. Mulutnya mengeluarkan asap setelah menghisap segulung nipah yang ia keluarkan dari balik kemeja kusamnya. Orang tua itu mengundang misteri. Walaupun sebelumnya ia telah memberi penjelasan. Tapi belum sedikit pun ia menjelaskan siapa ia sebenarnya.

Keluarlah kata-kata dari mulutnya yang berasap nipah. Sebenarnya aku ingin muntah ketika ia berkata-kata. Jujur kukatakan bahwa mulutnya itu berbau busuk. Tapi kuurungkan sebab khawatir kalau hal itu kulakukan tentu akan menyakiti perasaannya apalagi ia hanya seorang tua. Tangannya yang keriput dan penuh tonjolan-tonjolan, gemetar dan bergeletuk di pangkal pahaku kemudian menatapku dari bawah sampai ke atas dengan matanya yang kuyu.

“Anak berasal dari mana? Sudah berapa lama bapak di sini tapi belum sekali pun bapak pernah melihat anak. Hari ini baru yang pertama.” Sebuah pertanyaan meluncur dari mulut orang tua itu.

“Ah, bukan. Saya bukan dari daerah sini. Saya hanya kebetulan lewat dan mau pulang tapi bapak lihat sendiri tadi kalau saya sudah ketinggalan bis.” Aku mulai membuka diri walaupun tidak akan kukatakan semuanya. Aku hanya tidak ingin orang tua ini terlalu jauh masuk ke kehidupanku. Lagi pula untuk apa ia mengetahui urusanku.

“Oh, jadi anak akan menginap di sini? Bagaimana kalau di rumah bapak saja?” Penawaran yang menguntungkan bagiku. Tapi tidak. Aku tidak akan ke rumahnya. Tidak akan masuk ke dalam kamarnya. Apalagi berbaring di tempat tidurnya. Aku jadi curiga. Bukannya aku ingin bermaksud yang tidak-tidak tapi ini benar-benar aneh. Baru kenal sebentar ini ia sudah begitu baik padaku. Bahkan aku belum menyebut namaku.

“Ah, tidak usah. Saya tidak apa-apa. Di sini juga tidak apa-apa. Lagi pula saya tidak akan lama di sini.” Ku tolak tawarannya mentah-mentah. keningnya mulai mengerut dan bentuk matanya aneh seperti mencurigaiku.

“Tidak baik kalau anak tetap tinggal di sini sebab sepengetahuan bapak setiap malam di sini selalu ada kejadian aneh yang membuat orang-orang sekitar tidak ada yang berani lewat di sini apalagi kalau sudah lewat tengah malam.” Orang tua ini mulai tidak keruan bicaranya. Seolah-olah ia ingin memaksa aku untuk menginap di rumahnya dengan mengarang cerita-cerita aneh.

“Ah, bapak ada-ada saja. Mana mungkin ada kejadian aneh di tempat seperti ini.” Kucoba menghibur diri. Tapi tidak dapat kusangkal kalau tempat ini memang terasa ganjil; pohon-pohon besar berjejer di belakang jalan dan semerawut, sebuah gubuk kosong dan tidak terawat seperti dibiarkan saja oleh pemerintah untuk tidak di gusur berdiri di tepi jalan. Semuanya seolah-olah membangun kesan mistis yang rahasianya tak pernah terungkap. Ya Tuhan! Apa yang sedang kupikirkan. Mana mungkin di zaman yang serba instan dan modern ini ada kejadian aneh. Orang-orang tidak akan ada lagi yang percaya dengan hal-hal yang begituan malah mereka akan menertawakannya. Orang tua ini mencoba mengelabuiku dengan cara-cara klasiknya. Sekiranya aku ini anak kecil yang dengan mudahnya di bujuk hanya dengan sebungkus permen. Tidak. Aku tidak akan tertipu.

“Terserah kalau anak tidak mau percaya. Bapak juga tidak akan memaksa. Anak tetap tinggal di sini itu juga urusan anak. Bapak tidak akan ikut campur. Tapi jangan salahkan bapak kalau terjadi apa-apa pada anak nantinya sebab anak sudah bapak beritahu.” Seperti sebuah ancaman keluar dari mulut orang tua itu. Aku tidak akan bergeming. Lagi pula apa hubungannya aku dengan orang tua itu yang tiba-tiba saja entah dari mana datang dan mengancamku. Sekiranya aku takut. Tidak.

“Saya tidak habis pikir, kenapa bapak begitu peduli pada saya padahal saya tidak berbuat sesuatu untuk bapak? Apa yang bapak inginkan dari saya?” Aku mulai marah. Naik darah. Orang tua itu sengaja membuat aku kesal sedemikian rupa agar aku ikut dengannya atau pergi dari sini.

“Nak, bukan maksud bapak untuk...”

“Ah, lebih baik bapak tidak usah ikut campur urusan saya. Saya mau ini saya mau itu, itu urusan saya jadi tolong bapak jangan ganggu saya.” Marahku sudah tidak tertahan lagi melihat tingkah orang tua itu. Ia gelagapan.

“Euh anu, baik. Bapak akan pergi. Tapi jangan salahkan bapak kalau...”

“Saya bilang pergi! Jangan ganggu saya!”

“Baik. Baik bapak pergi.” Kemudian orang tua itu berlalu dari hadapanku. Aku tidak melepaskan pandanganku sampai ia menghilang di tikungan. Orang tua yang menjengkelkan. Kutarik napas panjang pertanda bahwa aku lega sebab ia pergi dari hadapanku. Dari pikiranku.

***

Malam semakin menuju puncaknya di balik pucuk pohon beringin. Mataku tak mau terpejam sebab masih teringat perkataan orang tua tadi. Seketika itu pula bulu remangku berdiri. Hawa dingin berkelebat di tubuhku. Kusapu pandangan ke segala penjuru. Memang benar tempat ini ganjil; gubuk usang dan pohon-pohon besar yang semerawut. Bulan penuh memancarkan cahaya terang seperti membentuk raut wajah seseorang di dalam lingkarannya. Aku jadi teringat kampung. Teringat Sri. Sedang apa ia sekarang? Sudah tidurkah ia? Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya. Tapi aku terjebak di sini. Di perhentian bis.

Pandanganku kembali tertumbuk pada gubuk usang tadi. Menurutku tempat itu yang paling aneh di sini. Aku jadi penasaran dengannya. Lamat-lamat kudekati juga gubuk itu. Beratap rumbia dan lantai beranda yang hanya terbentuk dari tanah sedikit menonjol ke atas. Sebuah kursi dari bambu yang terletak di teras mulai kusam bentuknya. Warnanya pun mulai pudar. Jendelanya pun dibiarkan terbuka dan laba-laba membuat sarang di situ. Gubuk itu seperti sudah lama di tinggalkan pemiliknya. Kubuka pintu muka. Ternyata tidak terkunci. Terdengar suara pintu itu berderik ketika di buka. Udara pengap berseliweran dari dalam, di tambah lagi cahaya bulan yang masuk di sela-sela atapnya menciptakan suasana yang mengerikan. Baru selangkah kakiku menginjak isi gubuk itu terciumlah bau busuk yang menyengat. Tapi mataku tertumbuk pada sebingkai gambar kusam yang tergantung di dinding. Kulekatkan pandangan dalam-dalam ke gambar itu. Seekor kucing. Matanya seolah-olah terus memperhatikan aku. Anehnya, mengapa ada gambar seekor kucing di gubuk ini? Apa pemiliknya pecinta hewan? Trang! Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang. Seperti suara peralatan dapur yang saling beradu satu sama lain. Keras sekali. Aku terkejut. Langsung kualihkan pandangan ke belakang. Dengan hati-hati aku mulai melangkah pelan-pelan ke arah suara itu. Tapi suara itu tidak terdengar lagi. Menjadi hening kembali. Aku harus waspada. Jangan-jangan ada seseorang di gubuk ini. Pelan-pelan kulangkahkan kaki sambil meraba-raba ke depan dan ke samping. Bau busuk tadi lebih menyengat dari ketika pertama aku masuk. Aku mulai mengambil kesimpulan bahwa ada sesuatu yang sengaja disembunyikan di dalam gubuk ini. Kuncinya adalah bau busuk ini. Seperti bau manusia. Ah, barangkali hanya asumsiku saja. Tapi entah dari mana bau ini berasal. Gubuk ini terlalu kecil untuk menyembunyikan bau busuk yang menyengat. Anehnya, ketika di luar tidak tercium barang sebentar pun bau ini.

Rasa penasaranku mulai bergejolak. Semakin aku ingin mencari tahu apa yang telah terjadi di gubuk ini semakin aku dihinggapi rasa takut. Tanganku meraba sesuatu. Sesuatu yang sedikit menonjol dari balik dinding yang terbuat dari jalinan pandan yang sudah dikeringkan. Kupastikan bahwa ada sesuatu dari balik dinding ini dengan meraba setiap sisinya. Ternyata memang ada sesuatu. Sesegera itu pula aku berusaha mencari sesuatu untuk membuka dinding ini. Apa yang tersembunyi di baliknya. Aku menuju ke depan gubuk. Ke halaman. Kutemukan linggis di bawah kursi muka. Kembali ke belakang. Darahku bergejolak. Keringat mulai keluar dari pori-pori. Muncul rasa ingin menyibak tabir yang selama ini tersimpan rapi di gubuk usang ini. Di gubuk yang seharusnya sudah di gusur oleh pemerintah. Tidak lagi terpikirkan olehku Sri yang menanti di kampung. Rasa ingin tahuku terhadap gubuk ini lebih besar dari pada pekerjaan yang kuharapkan. Dinding kuhantam keras-keras. Pelan-pelan mulai tampak sesuatu. Sebuah lengan jatuh ke lantai. Ya Tuhan! Aku terkejut dan melompat. Baunya semakin sangit. Mengapa bisa ada mayat di gubuk ini. Mayat yang sengaja dipotong-potong. Benar dugaanku bahwa ada mayat di sini. Tanggung terbuka. Kuhantamkan linggis lebih keras lagi. Satu-satu potongan tubuh manusia mulai berceceran di lantai. Tanpa kepala. Kemana kepalanya? Pembunuhnya sengaja tidak meninggalkan bukti dengan memisahkan bagian tubuh mayat dan kepala. Benar-benar cerdas dan sadis.

Badanku mulai gemetar. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya. Ah, lebih baik aku cepat-cepat pergi dari sini. Jangan sampai orang mengira bahwa akulah yang telah membunuh orang ini.

Secepat kilat aku lari ke muka. Tapi ada seseorang di pintu muka. Ah, ternyata orang tua yang tadi di perhentian bis. Mau apa dia kemari.

“Hei nak, kan sudah kukatakan tadi agar kau pergi dari sini. Kau telah mengacaukan semuanya.” Orang tua itu mengeluarkan sebilah belati dari balik kemejanya dan mengarahkannya padaku.

“Oh, ternyata bapak yang telah membunuh orang itu. Jadi ini yang bapak sembunyikan selama ini.” Kuambil posisi untuk menghindari belatinya.

“Nak, kau harus kubunuh karena kau telah mengetahui semuanya. Semua yang kusimpan rapi di gubuk ini. Tak ada lagi yang akan kusisakan. Termasuk kau.”

“Kenapa bapak membunuhnya? Apa yang bapak inginkan darinya?”

“Itu bukan urusanmu. Dia telah menghancurkan seluruh hidupku. Minah dan dua putriku telah di bunuhnya. Padahal aku telah berjanji akan membayar semua hutang-hutangku padanya tapi dia tak mau mendengarkannya. Inilah balasan yang setimpal untuknya.” Sekarang mulai jelaslah semua rahasia yang tersimpan di gubuk ini. Juga suasana yang mencekam di perhentian bis itu.

“Bapak tahu dengan apa yang telah bapak lakukan?”

“Ah, jangan sok suci anak muda. Mana ada lagi orang jujur di dunia ini. Sekarang kau harus kubunuh!” Orang tua itu mengayunkan belatinya ke arahku. Eits! Hampir saja. Aku harus segera menghindar dan lari dari orang tua sinting ini. Kupacu langkah ke arah belakang. Ah, tidak! Pintu belakang gubuk ini terkunci. Aku terperangkap. Seketika itu sebuah ayunan belati mendarat di kepalaku. Darah mengucur dan bercak-bercaknya menempel di dinding. Senyum puas terpancar dari orang tua itu. Pandanganku kabur. Gelap.

Maafkan aku Sri. Aku telah mengecewakanmu. Tapi kau harus tahu bahwa aku telah berbuat sesuatu yang berarti di sini. Sesuatu yang kau tidak pernah mengerti. Walaupun apa yang aku lakukan ini tidak seorang pun mengetahuinya. Maafkan aku. Jaga anak dalam kandunganmu itu baik-baik. Kelak surat kabar akan memberitakan segalanya. Dari situ pula akan aku sampaikan salam perpisahan untukmu.

Sehari kemudian, tersiar kabar tentang dua sosok mayat yang terpotong-potong dan seorang tua yang mati gantung diri di dalam sebuah gubuk dekat perhentian bis jurusan Malang.

Rumah Teduh, 23 Juni 2007

Tidak ada komentar: