Sabtu, 16 Februari 2008

Sumber; padang ekspres 5 agustus 2007

Cerai Teratai

Cerpen Delvi Yandra

Han Hyun Dong menarik napas panjang ketika melihat keluar jendela dari tingkap apartemen di Youido. Persis di tengah-tengah kota Seoul yang kini sudah jadi kota “mati.” Gedung-gedung berdesakan seperti menunggu antrian panjang yang tak pernah berkesudahan. Matahari enggan disapa sebab perkantoran dan apartemen yang bertingkat-tingkat menghalangi cahayanya. Orang-orang pun seperti dikejar waktu dan jadilah mereka robot-robot bernyawa yang bergerak setiap hari secara statis. Ah, barangkali hanya sungai Han yang bisa jadi hiasan abadi di kota ini. Sungai itu mengalir melewati Seoul. Hyun tersentak dari lamunan ketika mendengar suara gumamanku yang setengah sadar.

“Kau sudah bangun?” sapa Hyun.

“Ah, aku belum ingin bangun. Sayang, bisakah kau tutup tirai itu?” pintaku. Hyun malah menghampiri jam weker yang terletak di atas meja dekat tempat tidur. Kemudian Ia mengangkat jam weker itu lalu menunjukannya padaku.

“Kau tahu jam berapa sekarang?”

Aku kaget dan langsung melompat dari tempat tidur. “Ya ampun! aku lupa menyetel alarmnya,” pikirku sembari bergegas ke kamar mandi tanpa melepas piyama.

Sarapan tersaji. Masakan Hyun menjadi sesuatu yang selalu ditunggu-tunggu setiap pagi ketika aku akan berangkat kerja. Rupa-rupanya aku telah jatuh cinta tidak hanya pada Hyun tapi juga pada masakannya. Sungguh. Kimchi buatannya pagi ini pasti enak. Kadang-kadang bulgogi di akhir pekan yaitu potongan-potongan daging yang dipanggang di atas tungku setelah diasinkan dalam sebuah pencampur sambal, minyak wijen, bawang putih, biji wijen, bawang hijau dan bumbu makanan lainnya. Ia tahu kalau aku suka pedas dan panas jadi ia menyajikannya dengan “sedemikian rupa.” Makan dengan tenang. Selepas sarapan aku pamit lalu bergegas turun sedang Hyun membereskan kembali meja makan. Segera. Turun dengan lift. Tidak. Beberapa hari yang lalu lift di sini rusak akibat salah seorang penghuni apartemen salah menekan tombol dari dalam lift tersebut, jadi harus menggunakan satu-satunya alternatif lain yaitu dengan menuruni tangga. Butuh waktu cukup lama juga untuk turun dari lantai 26 ini. Ya. Apalagi untuk sampai ke tempat kerja, aku mengukur waktu supaya tidak terlambat. Sesampai di bawah aku cukup merasa kelelahan. Sedikit berkeringat. Di depan apartemen terdapat sebuah kolam yang dihiasi dua kumpulan teratai. Di tengahnya berdiri kokoh sebuah patung yaitu seorang perempuan (kira-kira usianya tiga puluh-an) yang memegang setangkai teratai di tangan kanannya, sedangkan tangan kiri menyentuh dada dan matanya menatap jauh ke dalam air yang berada di kolam tersebut. Biasanya tiap-tiap rumah ada kolam teratainya tapi sekarang kebiasaan itu hampir jarang dijumpai kecuali di rumah-rumah daerah pedesaan. Di apartemen ini pun mungkin hanya suatu kebetulan yang wajar. Jalan penuh sesak. Orang-orang lebih senang berjalan kaki daripada naik bis. Jalan kaki menjadi alternatif yang dipilih supaya tidak terlambat pergi ke kantor, sekolah, dan segala tetek bengek kegiatan sehari-hari lainnya. Mereka beranggapan bahwa jalan kaki lebih cepat sampai di tujuan daripada naik bis. Terbukti. Di halte. Aku menunggu lagi seperti biasa. Bis layaknya mesin pengendali kehidupan. Terlambat sedetik saja bisa jadi terlambat berjam-jam. Untung saja tidak terlambat. Akhirnya sampai juga.

Aku bekerja di Chosun Ilbo. Sebuah instansi surat kabar tertua yang ada di Korea. Dong-A Ilbo. Juga merupakan yang tertua bersamaan dengan Chosun Ilbo. Media-media tersebut diresmikan pada tahun 1920 yang (menurut kabarnya) dianggap untuk kemerdekaan dan kebijaksanaan dalam mempengaruhi opini publik. Sungguh pengalaman yang menyenangkan bisa melakukan pekerjaan sebagai seorang kreator pada media yang namanya sudah melanglang buana itu. Tidak mudah mendapatkan pekerjaan ini jadi harus berusaha semaksimal mungkin.

Pernah suatu ketika aku membuat satu kesalahan (tepatnya kelalaian) sehingga redaktur memaki-maki aku dan hasil kerjaku yang menurutnya berantakan. Aku tidak terpukul. Sedih. Juga tidak. Malah jadi tambah semangat bekerja dan lebih berhati-hati lagi. Jadwal kerja semakin padat. Sirkulasi surat kabar meningkat tajam. Hampir sepertiga hari kuhabiskan hanya untuk duduk di kursi kerja. Sibuk. Repot.

Lelah. Kata-kata itu sering muncul dalam pikiranku setiap kali usai bekerja. Betapa tidak, pagi-pagi tumpukan kertas sudah menanti lagi di atas meja kerja. Pulang larut. Disamping itu semua, ada hal lain yang mesti diutamakan. Keluarga. Ya. Ketika tiba di rumah, Hyun seperti biasa menunggu kepulanganku di kursi sofa dekat depan pintu. Suamiku. Ia laki-laki tangguh yang bekerja di rumah layaknya seorang ibu rumah tangga. Ia menggantikan peran sesungguhnya seorang istri. Kadang-kadang ia juga sempat menulis. Profesinya. Tulisannya pernah dimuat dalam surat kabar tempat aku bekerja (kadang-kadang juga disurat kabar lain). Ia begitu perhatian padaku dalam hal apapun. Juga pengertiannya itu. Aku jadi takut kehilangannya. Takut kalau-kalau nanti ia berubah pikiran.

Festival Chusok. Hari yang ditunggu-tunggu di mana aku bisa membagi waktu dengan suami di luar pekerjaan. Hilang beban sejenak. Chusok merupakan perayaan besar yang diiringi oleh tarian Kanggangsuwolle untuk memperingati hari lahirnya Budha. Di adakan di sebuah ruangan seperti arena yang luas, biasanya ruangan tersebut memang ditujukan untuk perayaan-perayaan besar (kadang-kadang juga untuk pementasan). Aku menikmatinya. Juga suamiku. Tidak. Sanak keluarga tidak sedang bersama kami. Wajar. Aku sudah memilih Hyun. Aku yakin dengan pilihan ini. Sebenarnya memang dari dulu mereka tidak menyetujui hubunganku dengan Hyun. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi jauh meninggalkan mereka. Ah, aku jadi teringat mereka lagi. sudahlah.

Sekarang hidup kami sudah mapan tapi rasanya masih ada saja yang kurang. Ya. Sudah sewindu kami menikah tapi belum juga dikaruniai seorang anak yang keberadaannya selalu didambakan dalam kehidupan rumah tangga. Segala cara kami lakukan. Segala obat kami coba. Ada juga yang dicoba-coba. Pernah juga sekali waktu kami konsultasi ke klinik. Dokter bilang suamiku yang tidak mau “berusaha.” Sebenarnya bisa saja kami mengadopsi seorang anak tapi itu bukanlah suatu keputusan akhir yang kami anggap baik. Hyun tidak marah. Putus asa. Tidak juga. Sedih apalagi. Padahal aku berkali-kali mencemaskannya, tapi ia tak memberi reaksi sedikitpun. Apa ia merasa hal ini tidak terlalu penting? Apa mungkin ini karma? Lama-lama kami jadi merasa asing. Kemelut batin yang juga asing.

***

Tidak seperti hari-hari yang lalu. Aku pulang larut lagi. Lebih larut dari biasanya. Di salah satu sudut dinding, jarum jam menunjukan pukul dua belas lewat dua puluh lima menit tengah malam. Hyun masih duduk di sofa. Menungguku. Tapi kali ini aku merasa seolah-olah ia menyambut kepulanganku dengan ribu-ribu pertanyaan. Kemudian ia memanggilku untuk duduk di dekatnya. Aneh. Padahal biasanya ia langsung menuntunku ke kamar tidur. Aku langsung berpikir kalau ia akan mengatakan sesuatu yang sangat penting. Lebih dari kata-kata yang pernah diucapkannya selama ini. Akhirnya aku pun menurutinya.

“Hwa Rin, aku mau bicara. Mungkin sebuah pertanyaan,” Hyun menatapku tajam.

“Pasti sesuatu yang penting,” aku menebak sembari meletakkan tas kerjaku di atas meja dekat sofa tempat Hyun duduk.

“Menurutku”

“Menurutmu?”

“Ya, menurutku. Aku tidak yakin menurutmu juga sama denganku,” Ia lebih tajam lagi menatapku. Sampai ke isi dalam mataku. Aku jadi semakin bingung dengan apa yang ia sampaikan diawal pertanyaan yang akan diutarakannya. Semakin penasaran. Aku menimbang bahwa aku ini istri yang baik selama ini. Bahkan menurut sudut pandangku, aku tidak pernah melakukan kesalahan yang akan membuatnya sakit hati atau mungkin melakukan sesuatu yang tidak menyenangkannya. Aku coba mengingat kembali satu persatu. Benar-benar tidak ada. Sungguh.

“Apa yang menurutmu penting sayang,” kucoba memegang tangannya.

“Boleh aku minum dulu?” pintanya.

“Minum? Jadi itu yang menurutmu penting?” aku berbalik tanya.

“Bukan, aku benar-benar ingin minum!” tegasnya.

“Oh, sebentar.” Lalu aku bergegas ke dapur.

Semakin bingung. Kusut. Serupa benang kusut yang masuk dalam kepalaku. Sulit untuk digulung dengan rapi. Ah, mungkin aku terlalu berpikiran buruk sehingga aku tenggelam dalam kecemasan. Padahal setahuku selama ini hubunganku dengan Hyun baik-baik saja. Sekiraku kalau boleh aku bangga, rumah tanggaku mungkin lebih baik (boleh dibilang akur) daripada keluarga kebanyakan. Kutuang air dari cerek yang terletak di atas etalase dekat sudut dapur ke dalam cangkir bermotif teratai yang tertelungkup di atas meja dapur. Lalu kembali ke ruang tamu tempat Hyun menunggu secangkir air putih dariku. Sebelum sampai, di balik daun pintu menuju ruang tamu kuhentikan langkahku sebentar. Kulihat ia masih duduk di sofa dengan wajah mengkerut dan tangan yang menekuk di keningnya. Sempat terpikir olehku, pertanyaan apa yang akan disampaikannya padaku hingga ia begitu kalutnya. Ah, lagi-lagi aku begini. Kuhampiri ia. Sebelum meneguk air itu, sekilas ia menatap tajam lagi padaku. Sekiraku, aku ini seperti orang lain saja di matanya. Ah, lagi-lagi! Ia meminumnya. Kubayangkan kalau air putih itu adalah aku. Ditelan ke dalam perutnya yang gelap.

“Terima kasih Hwa Rin”

“…”

“Dam Hwa Rin? Kenapa?”

“Oh, tidak”

“Aku jadi ragu untuk menanyakannya”

“kenapa? Padahal sudah sedari tadi aku menantinya”

“Aku ragu bila melihat keadaanmu sekarang”

“Tidak, jangan urungkan. Aku sudah siap”

“Siap? Untuk apa? Tidak ada yang perlu di persiapkan”

“Aku tahu, mulailah bertanya”

“Benarkah?”

“Ya, mulailah”

Lama sekali. Kami saling tertumbuk pandang. Berdiam diri. Detak jarum jam berbunyi keras sekali hingga menimpali suara apapun di ruangan ini. Aku masih menunggu lama hanya untuk sebuah pertanyaan darinya. Pertanyaan yang barangkali menentukan hidup mati perjalanan rumah tangga kami. Asumsiku demikian. Tapi tidak menutup kemungkinan juga perkiraanku itu benar. Berbanding lima puluh persen dari kebalikannya.

“Apalagi?” tanyaku.

“Menyusun”

“Menyusun apa,” aku jadi heran.

“Kata-kataku”

“Langsung saja,” pintaku.

“Tidak bisa, salah-salah nanti bisa tersinggung”

“Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan itu”

“Siapa yang telah membuatmu tersinggung?” tanya Hyun segera.

“Tidak separah yang kau bayangkan, hanya redaktur yang sedikit kecewa kok,” aku memperjelas kata-kataku.

“Oh, jadi kau mengecewakannya?”

“Hanya sedikit, itu pun tidak begitu penting,” dalihku.

“Syukurlah”

“Susunlah”

”Apa?”

“Kata-katamu tadi”

“Aku bingung memulainya, bagaimana kalau kita istirahat dulu?” tawar Hyun.

“Mana bisa, aku tidak akan bisa tidur”

Ah, Hyun mulai berbelit-belit. Aku jadi tidak nyaman. Apalagi untuk tidur. Ia seolah-olah mengulur waktu untuk sesuatu yang sedang ditunggunya. Menunggu aku marah. Naik darah. Jangan sampai itu terjadi. Tidak pernah ia seperti ini sebelumnya. Jauh hari aku mengenalnya sebagai orang yang penyabar dan baik. Sempurna. Sangat jauh berbeda dengan Hyun yang baru kukenal malam ini. Ia begitu misterius. Juga lebih serius dari biasanya.

“Bagaimana kalau kita berpisah,” tiba-tiba Hyun mengatakan sesuatu. Hening. Apa yang sedari tadi terpikirkan olehku jadi hilang. Aku seakan tidak percaya. Kalau bisa, aku ingin ia mengulangi kata-katanya barusan. Kucoba itu.

“Apa?”

“Kita pisah”, jelas Hyun.

“Maksudmu cerai,” tanyaku ragu.

“Ya”

Sudah kuduga. Kecemasanku terungkap. Apa yang menjadi ketakutanku selama bersamanya meledak seketika itu. Padahal sebelumnya kami saling percaya bahwa akan segera memiliki anak. Kurasa aku tidak perlu lagi menanyakan alasannya. Jawabannya sudah lama bersarang di kepalaku. Kecukupan selama ini ternyata adalah kekurangan. Hyun menyimpan semuanya dan sekarang ia utarakan. Luapan perasaan sebenarnya. Emosinya itu. Suasana hampa. Beku. Teratai dalam kolam di depan apartemen hanya tinggal sekumpul. Lainnya entah kemana (barangkali tercerai-berai).

Padang, 13 Mei 2007

Tidak ada komentar: